Sabtu

Manusia dalam Perspektif Islam dan Psikologi Eksistensial-Humanistik: Sebuah komparasi

Dalam dunia pendidikan, psikologi adalah salah satu disiplin ilmu yang amat penting dipelajari. Namun sebagian besar teori psikologi berasal dari Barat, jadi besar kemungkinan kerangka pikir (mode of thought) psikologi dipenuhi oleh pandangan dan nilai-nilai hidup masyarakat Barat yang sebagian besar berbeda, dan mungkin sangat bertentangan, dengan pandangan dan nilai-nilai Islam. Timbul kekhawatiran, jika psikologi Barat diserap tanpa hati-hati, maka akan merusak ideologi umat Islam. Banyak teori psikologi Barat yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan pandangan Islam. Namun diantara teori psikologi Barat tersebut, diantaranya ada pula yang tampaknya masih sejalan dengan pandangan Islam, salah satu diantaranya adalah psikologi Eksistensial-Humanistik. Objek kajian psikologi adalah manusia, oleh sebab itu hal yang mendasar dan pertama kali dibicarakan oleh didiplin ilmu ini adalah tentang hakikat manusia, oleh sebab itu uraian ini hanya dibatasi pada pembahasan tentang hakikat manusia menurut perspektif Islam dan psikologi Eksistensial-Humanistik.

A. Pendahuluan
Dewasa ini, kiblat ilmu dan teknologi adalah Barat. Agar umat Islam menjadi umat yang maju dan kompetitif, maka umat Islam harus menuntut, menyerap, mempelajari, dan menguasai ilmu dan teknologi tersebut kepada bangsa Barat.

Psikologi adalah salah satu disiplin ilmu yang dewasa ini sedang berkembang pesat di dunia Barat. Psikologi telah memperlihatkan berbagai sumbangannya dalam membantu manusia untuk memecahkan berbagai problema dan menyimak misteri hidup dan kehidupannya.

Melihat sumbangan psikologi yang demikian besar, maka psikologi adalah disiplin ilmu yang harus dikuasai oleh umat Islam. Tetapi sebagai ilmu yang dibangun dan dikembangkan dalam budaya Barat yang sebagian berbeda dengan budaya Islam, maka sangat mungkin kerangka pikir (mode of thought) psikologi dipenuhi oleh pandangan-pandangan atau nilai-nilai hidup masyarakat Barat yang sebagian besar berbeda, dan mungkin sangat bertentangan, dengan pandangan atau nilai-nilai Islam.

Badri (1981), seorang psikolog berkebangsaan Sudan, mengingatkan agar umat Islam berhati-hati dalam menyerap psikologi Barat. Menurut Badri, pengulangan yang tanpa dipikir lagi atas teori-teori dan praktek-praktek Barat dalam disiplin psikologi merupakan sebuah ancaman yang serius terhadap status ideologi Islam, terutama diantara kaum pemikir dan kaum awam Islam. Secara khusus Badri (sebagaimana yang dikutip oleh Bastaman, 1997) mengecam keras aliran Psikoanalisis dan Behaviorism yang cukup dominan dewasa ini. Badri mengecam corak reduksionistis oleh penganut Behaviorism yang menganggap tingkah laku manusia (termasuk penghayatan etis religius) semata-mata bersumber dari pengalaman menerima faktor-faktor penguat berupa reward and punishment.

Lebih keras Badri mengecam Psikoanalisis, antara lain terhadap konsep Id, Ego, dan Superego, serta Oedipus Complex yang menurut Badri tidak lebih sekedar mitos belaka, bukan hasil penelitian ilmiah. Begitu pula pandangan Sigmund Freud bahwa agama hanyalah sebuah ilusi, penyakit jiwa yang dapat menghambat per-kembangan kecerdasan, dan banyak lagi pandangan lainnya. Teori-teori demikian sangat bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam, namun karena dilapisi dengan “gula”, kemudian dibungkus dan diberi label “ilmu pengetahuan”, maka banyak umat Islam yang tergoda dan tentu sangat berbahaya bila diserap begitu saja .

Tidak semua paham psikologi Barat bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam, di antaranya ada yang tampaknya sejalan (namun bukan berarti persis sama). Diantara paham psikologi tersebut adalah psikologi Eksistensial-Humanistik.

Berbicara psikologi, maka hal yang paling mendasar dan pertama-tama dibahas adalah pandangannya terhadap hakikat manusia. Oleh sebab itu, uraian ini mencoba membahas hakikat manusia menurut perspektif Islam, kemudian membandingkannya dengan pandangan Eksistensial-Humanistik.

B. Hakekat Manusia: Perspektif Islam
Dari sudut pandang psikologi, pandangan tentang hakikat manusia mengarah pada sifat-sifat manusia (human nature), yaitu sifat-sifat khas (karakteristik) segenap umat manusia (Chaplin, 1997: 231). Hakekat manusia yang dimaksud dalam kajian ini ialah sesuatu yang esensial dan merupakan ciri khas manusia sebagai makhluk yang dapat menjadikan manusia berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya.

Para pemikir Islam seperti Al-Farabi, Al-Ghazali, dan Ibnu Rusyd (Muhaimin & Mujib, 1993) menyatakan bahwa manusia merupakan rangkaian utuh antara dua unsur, yaitu unsur yang bersifat materi (jasmani) dan unsur yang bersifat immateri (rohani). Pernyataan bahwa manusia merupakan rangkaian utuh antara dua unsur mengan-dung makna bahwa unsur-unsur tersebut merupakan satu totalitas yang tidak bisa dipisah-pisahkan, atau dengan kata lain tidak bisa dikatakan sebagai manusia jika salah satu diantara dua unsur tersebut tidak ada. Namun pembahasan ini hanya difokuskan pada unsur immateri (rohani) saja.

Istilah yang sering disebut dalam Alquran untuk menggambarkan unsur manu-sia yang bersifat rohani adalah ruh dan nafs.

1. Ruh
Dalam surah al-Hijr ayat 28-29 Allah berfirman :
وإذ قال ربك للملـئكة اني خالق بشرا من صلصال من حمإ مسنون. فاذا سويـتـه ونفخت فيه من روحي فقعواله ساجدين

Artinya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”

Sebagaimana yang digambarkan dalam ayat di atas, ruh adalah unsur terakhir yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia, dengan demikian dapat diambil pemaha-man bahwa ruh adalah unsur yang sangat penting karena merupakan unsur terakhir yang menyempurnakan proses penciptaan manusia. Ruh juga dikatakan sebagai bagian unsur yang mulia, hal ini tersirat dari perintah Allah kepada para malaikat (termasuk pula iblis) untuk sujud kepada manusia sebagai tanda penghormatan setelah dimasuk-kannya unsur ruh.

Apakah ruh itu?. Pertanyaan ini pernah diajukan kepada Rasulullah saw sebagaimana yang tergambar dalam surah al-Isra’ ayat 85 sebagai berikut:
ويسئلونك عن الروح. قل الروح من امر ربي وما اوتـيـتم من العلم الا قليلا

Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.

Ayat di atas menyiratkan bahwa pengetahuan manusia tentang ruh sangat terbatas sehingga tidak mungkin dapat mengetahui hakikat ruh secara detail. Sekalipun ayat di atas menyatakan bahwa pengetahuan manusia tidak akan mencapai pemahaman yang rinci tentang hakikat ruh, tetapi tidak satupun terdapat ayat Alquran yang menghalangi atau melarang para ulama atau cendikiawan muslim untuk berusaha memahami hakikatnya (Syaltout, 1972). Pintu untuk menyelidiki tentang hakikat ruh masih terbuka dengan selebar-lebarnya (Surin, 1978).

Mempelajari proses penciptaan manusia sebagaimana yang digambarkan da-lam Alquran, paling tidak akan memberikan sedikit pemahaman tentang sifat-sifat ruh sebagaimana yang dinyatakan oleh Ansari (1992: 3) sebagai berikut:
Thus obvious that a direct and detail understanding of the nature of the ruh is not available. However, if we look at other relevant sections of the Qur’an which describe the process of creation, we might be able to obtain at least some understanding of its nature.

Dalam memahami sifat-sifat ruh, ada beberapa ulama dan para sarjana muslim yang mencoba memahaminya dengan berpijak pada disiplin ilmunya masing-masing, mereka di antaranya sebagai berikut:

Al-Qayyim (1991), dan Al-Razy (Ash-Shiddieqy, 1969 dan Hadi, 1981), ber-pendapat bahwa ruh adalah suatu jisim (benda) yang sifatnya sangat halus dan tidak dapat diraba. Ruh merupakan jisim nurani yang tinggi dan ringan, hidup dan selalu bergerak menembus dan menjalar ke dalam setiap anggota tubuh bagaikan menjalarnya air dalam bunga mawar. Jisim tersebut berjalan dan memberi bekas-bekas seperti gerak, merasa, dan berkehendak. Jika anggota tubuh tersebut sakit dan rusak, serta tidak mampu lagi menerima bekas-bekas itu, maka ruh akan bercerai dengan tubuh dan pergi ke alam arwah.

Al-Ghazali (1989) membagi ruh dalam dua pengertian. Pertama, ruh yang bersifat jasmani yang merupakan bagian dari tubuh manusia, yaitu zat yang amat halus yang bersumber dari relung hati (jantung), yang menjadi pusat semua urat (pembuluh darah), yang mampu menjadikan manusia hidup dan bergerak, serta merasakan ber-bagai rasa. Ruh ini dapat diibaratkan sebuah lampu yang mampu menerangi setiap sudut ruangan (organ tubuh). Ruh sering pula diistilahkan dengan nafs (nyawa). Kedua, ruh yang bersifat rohani yang merupakan bagian dari rohani manusia yang sifatnya halus dan gaib. Ruh ini memberikan kemampuan kepada manusia untuk mengenal diri-nya sendiri, mengenal Tuhannya, dan memperoleh serta menguasai ilmu yang bermacam-macam. Ruh pula yang menyebabkan manusia berperikemanusiaan dan berakhlak sehingga memjadikannya berbeda dengan binatang.

Syaltout (1972) berpendapat bahwa ruh adalah suatu kekuatan yang dapat menyebabkan adanya kehidupan pada makhluk seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Ruh pada diri manusia disamping dapat memberikan kehidupan juga mem-berikan kemampuan kepada manusia untuk merasa dan berpikir. Hakekat ruh sulit ditangkap tetapi keberadaannya dapat dirasakan.

Ansari (1992) menyatakan, salah satu kapasitas khusus yang hanya dimiliki oleh manusia -- tidak dimiliki oleh makhluk lain -- disebabkan karena adanya ruh adalah kemampuannya untuk memperoleh pengetahuan yang luas. Pernyataan Ansari tersebut didasarkan pada Alquran surah al-Baqarah ayat 31 sebagai berikut :
وعلم ادم الاسماء كلها ...
Artinya: Dan Dia (Allah) mengajarkan Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya

Adam diajarkan oleh Allah swt berbagai nama-nama benda setelah unsur ruh ditiupkan kedalam tubuhnya, hal ini menyiratkan bahwa keberadaan unsur ruh menyebabkan manusia mempunyai kemampuan untuk menerima dan memperoleh pengetahuan yang luas.

Pulungan (1984) menyatakan bahwa ruh adalah sumber kemanusiaan. Manusia merasa senang, cinta, benci, marah, bahagia, gembira, bermoral, berakhlak, mem-punyai rasa malu dan beradab, semuanya adalah akibat dari adanya ruh yang ditiupkan Allah pada tubuh manusia.

Menurut Arifin (1994), keberadaan ruh pada diri manusia dapat menyebabkan tumbuh dan berkembangnya daging, tulang, darah, kulit, dan bulu, ruh pula yang menyebabkan tubuh manusia dapat bergerak, berketurunan, dan berkembangbiak. Di sampimg itu ruh pula yang membuat manusia dapat melihat, mendengar, merasa, berpikir, berkesadaran, dan berpengertian.

Di samping ruh, istilah lain yang dijumpai dalam Alquran untuk menamakan unsur rohani manusia ialah nafs. Ruh dan nafs adalah dua buah istilah yang pada hakikatnya sama.

2. Nafs
Ruh dan nafs hakikatnya sama, diberi istilah yang berbeda adalah untuk membedakan sifat dan fungsinya masing-masing. Menurut Amjad (1992), istilah ruh hanya digunakan untuk menunjukkan unsur rohani manusia pada tingkatan yang lebih tinggi dari nafs, ruh dipandang sebagai dimensi khas insani yang merupakan sarana gaib untuk menerima petunjuk dan bimbingan Tuhan, serta mempunyai kesadaran tentang adanya Tuhan, sedangkan istilah nafs digunakan untuk menggambarkan unsur rohani manusia yang mengandung kualitas-kualitas insaniyah atau kemanusiaan.

Dalam Alquran ditemukan tiga buah istilah yang dikaitkan dengan kata nafs, yaitu al-nafs al-mutma’innah seperti yang terdapat dalam surah al-Fajr ayat 27, al-nafs al-lawwamah seperti yang terdapat dalam surah al-Qiyaamah ayat 2, dan al-nafs laammaratun bi al-su’ seperti yang terdapat dalam surah Yusuf ayat 53. Ketiga buah istilah yang dikaitkan dengan kata nafs tersebut menyiratkan adanya tiga buah pembagian kualitas unsur rohani yang terdapat pada manusia.

Al-nafs al-mutma’innah secara etimologi berarti jiwa yang tenang, dinamakan jiwa yang tenang karena dimensi jiwa ini selalu berusaha untuk meninggalkan sifat-sifat tercela dan menumbuhkan sifat-sifat yang baik sehingga memperoleh ketenangan. Dimensi jiwa ini secara umum dinamakan qalb atau hati (Ahmad, 1992; Mujib, 1999).

Al-nafs al-lawwamah secara literlik berarti jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri, maksudnya bila ia telah berbuat kejahatan maka ia menyesal telah melakukan perbuatan tersebut, dan bila ia berbuat kebaikan maka ia juga menyesal kenapa tidak berbuat lebih banyak (Departemen Agama RI, 1978; Surin, 1978). Dimensi jiwa ini dinamakan oleh para filosof Islam sebagai ‘aql atau akal (Ahmad, 1992; Mujib, 1999).

Al-nafs laammaratun bi al-su’ secara harfiah berarti jiwa yang memerintah kepada kejahatan, yaitu aspek jiwa yang menggerakkan manusia untuk berbuat jahat dan selalu mengejar kenikmatan. Menurut para kaum sufi, dimensi jiwa ini dinamakan sebagai hawa atau nafsu (Sudewo, 1968; Ahmad, 1992; dan Mujib, 1999).

Ahmad (1992) menyebutkan, meskipun unsur rohani manusia yang diistilah-kan dengan nafs disebut dengan tiga buah istilah yang berbeda-berbeda sehingga seolah-olah ketiganya berdiri sendiri-sendiri, namun hakikat ketiganya merupakan satu kesatuan. Ketiga buah istilah tersebut menggambarkan bahwa secara garis besar terdapat tiga buah fungsi dan sifat yang dimainkan oleh unsur rohani manusia.

Senada dengan pendapat Ahmad yang menyimpulkan bahwa unsur rohani manusia hakikatnya satu, Arifin menyatakan:

Dinamai ruh (jiwa), atau nafs (nyawa) dalam fungsinya menghidupkan, me-numbuhkan dan memperkembangbiakkan. Dinamai akal dalam fungsinya memikir (menyelidiki), mencari sebab akibat, mengingat dan menghayal. Dinamai hati atau kalbu dalam fungsinya merasa .… dinamai nafsu dalam fungsinya berkeinginan, berkehendak, berkemauan. (Arifin, 1994: 37)

Pendapat Ahmad dan Arifin yang menyimpulkan bahwa unsur rohani manusia hakikatnya satu, diperkuat pula oleh pendapat Amjad sebagai berikut: “..… can be concluded that ruh is seen as a unity in all experience which is manifested in different ways in the human self” (Amjad, 1992: 44).

Dari pendapat beberapa ulama dan sarjana muslim di atas, dapat diambil simpulan bahwa meskipun Alquran menggunakan istilah yang berbeda-beda dalam menggambarkan unsur rohani manusia, yaitu ruh dan nafs, namun unsur-unsur rohani tersebut hakikatnya satu, disebut dengan istilah yang berbeda adalah untuk membe-dakan sifat-sifat rohani manusia. Keberadaan unsur rohani tersebut menyebabkan ma-nusia dapat hidup dan bergerak, berpikir, merasa dan menyadari keberadaan dirinya, bahkan menyadari akan keberadaan sesuatu yang menciptakan dirinya, yaitu Tuhan.

3. Qalb
Menurut Ahmad (1992) dan Mujib (1999), qalb adalah istilah dari al-nafs al-mutma’innah yang digunakan di dalam Alquran untuk menggambarkan salah satu unsur potensi rohani yang dimiliki oleh manusia. Istilah qalb dapat dijumpai antara lain di dalam Alquran surah al-Hajj ayat 46 sebagai berikut:
افلم يسيروا فى الارض فـَكون لهم قلوب يعقلون بها او اذان يسمعون بـها فانـها لا تعمى الابصار ولكن تعمى القلوب التي فى الصدور
Artinya: Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada.

Di samping Alquran surah al-Hajj ayat 46 di atas dapat pula dijumpai pada Hadis Rasulullah saw sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (1979: 19) sebagai berikut:
ان فى الجسد مضغة اذا صلحت صلح الجسد كله واذا فسدت فسد الجسد كله الا وهي القلب
Artinya: Sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, jika ia baik maka baik pula semua tubuhnya, dan jika ia rusak maka rusak pula semua tubuhnya, ingatlah! itulah yang dinamakan hati/qalb.

Berdasarkan keterangan Alquran surah al-Hajj ayat 46 dan Hadis Rasu-lullah saw tersebut di atas, dapat diambil pemahaman bahwa qalb mempunyai arti fisik dan arti metafisik. Al-Ghazali (1984) dan Noersyam (1984) menyatakan, pengertian qalb menurut arti fisik adalah segumpal daging berbentuk lonjong yang terletak di dalam rongga dada sebelah kiri yang terus menerus berdetak selama manusia masih hidup. Qalb dalam pengertian fisik ini berfungsi untuk mengatur jalannya peredaran darah ke dalam seluruh tubuh. Qalb seperti ini terdapat pada manusia dan juga pada binatang. Adapun pengertian qalb secara metafisik, menurut Bastaman (1997), menunjuk kepada hati nurani atau suara hati.

Memahami fungsi qalb dalam arti fisik sebagaimana yang digambarkan oleh Al-Ghazali dan Noersyam di atas, dapat diambil simpulan bahwa yang dimaksud qalb tersebut adalah organ tubuh yang disebut jantung (heart) dan bukan menunjuk kepada organ tubuh yang disebut hati (lever) .

Haq (1992) menyatakan bahwa qalb dalam arti fisik (jantung) merupakan titik tempat interaksi antara tubuh dengan qalb dalam arti metafisik (hati nurani). Interaksi tersebut secara psikologis dapat dirasakan, ketika kondisi psikologis seseorang dalam keadaan normal maka qalb (jantung) berdetak secara teratur, namun ketika kondisi psikologis seseorang sangat senang atau terlalu cemas maka detak qalb (jantung) menjadi cepat.

Pembahasan tentang qalb dalam tulisan selanjutnya lebih mengarah kepada istilah qalb dalam pengertian metafisik, yaitu hati nurani atau suara hati.

Kata Qalb ditransfer kedalam bahasa Indonesia menjadi kalbu yang berarti hati nurani. Kata qalb secara harfiah berarti berubah-rubah atau berbolak-balik, disebut demikian karena ia berpotensi untuk berbolak-balik, umpamanya dari perasaan senang menjadi susah, cinta menjadi benci, dari menerima menjadi menolak, dan sebagainya (Shihab, 1997). Qalb mempunyai nama-nama lain sesuai dengan aktivitasnya (Umary, 1989), ia dinamakan pula sebagai dhomir karena sifatnya yang tersembunyi, dinama-kan fu’ad karena merupakan tumpuan tanggung jawab manusia, dan dinamakan siir karena bertempat pada tempat yang rahasia dan sebagai muara bagi rahasia manusia.

Hati nurani tidak akan mendustakan apa yang dilihatnya, ia selalu cenderung pada kebenaran. Pernyataan ini didasarkan atas firman Allah swt dalam surah an-Najm ayat 11 sebagai berikut:
ما كذب الفؤاد ما رأَى
Artinya: Hati nurani tidak mendustakan apa yang dilihatnya

Menurut Zamakhsyariy (Mujib, 1999), hati nurani diciptakan oleh Allah sesuai dengan fitrah manusia yaitu baik dan suci, dan berkecenderungan menerima kebenaran dari Tuhannya. Jika hati nurani berfungsi secara normal, maka kehidupan manusia menjadi sesuai dengan fitrah aslinya, yaitu baik dan suci, dan dengan demikian manu-sia akan beriman kepada Allah swt.

Iman adalah masalah gaib yang tidak dapat dijangkau oleh dunia nyata atau pengalaman empiris semata, iman hanya dapat dijangkau dengan dunia rasa. Dunia rasa hanya dapat dijangkau melalui hati nurani yang terdapat dalam dada manusia, bukan dengan rasio atau otak yang terdapat di kepala manusia karena rasio atau otak manusia tidak mampu menjangkau hal-hal yang gaib, keterangan ini dapat dilihat di dalam Alquran surah al-Hujurat ayat 14:
قالت الاعرب آمنا. قل لم تؤمنوا ولكن قولوا اسلمنا ولـما يدخل الايمان في قلوبكم وإن تطيعوا الله ورسوله لاَ يلـتكم من أعمالكم شيئا ان الله غفور رحيم

Artinya: Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah (kepada mereka): “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu”. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Hati nurani merupakan unsur rohani manusia yang sangat penting dan dipandang sebagai inti kemanusiaan yang dapat menjadikan manusia berbeda dengan binatang. Jika manusia tidak dapat menggunakan hati nuraninya maka dia tidak ada bedanya dengan binatang, bahkan bisa lebih sesat dari binatang sebagaimana yang dinyatakan dalam Alquran surah al-A’raf ayat 179.
... لهم قلوب لا يفقهون بها ولهم اعين لا يببصرون بها ولهم اذان لا يسمعون بها اولئك كالانعام بل هم اضل اولئك هم الغافلون
Artinya: ... mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannnya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagaikan binatang, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.

Hati nurani dapat dikategorikan sebagai intuisi atau pandangan yang dalam yang mampu membawa manusia kepada kebenaran, dan sebagai sarana untuk mengenal kebenaran ketika penginderaan manusia tidak mampu memainkan perannya (Iqbal, 1981). Senada dengan Iqbal, Al-Ghazali (1984), Noersyam (1984), dan Raharjo (1987) menyatakan bahwa hati nurani manusia dapat menangkap rasa, mengetahui dan mengenal sesuatu, serta memperoleh ilmu mukasyafah, yaitu ilmu yang diperoleh melalui intuisi atau ilham, oleh karena itu, ketika memutuskan sesuatu (membentuk pendapat), hati nurani langsung menetapkannya tanpa proses panjang seolah-olah keputusan itu dilhamkan kepadanya.

Memahami fungsi qalb seperti yang diuraikan di atas, istilah qalb dalam pengertian metafisik (hati nurani) nampaknya mirip dengan istilah conscience yang digunakan dalam istilah psikologi, yaitu sistem nilai moral seseorang, atau kesadaran akan benar dan salah dalam tingkah laku (Chaplin, 1997), atau dalam istilah Psikoanalisa dinamakan superego, yaitu kumpulan moral nilai etis yang diintroyek-sikan, yang telah diperoleh seseorang dari kedua orangtuanya. Tetapi berbeda dengan conscience dan superego, qalb di samping mengandung sistem nilai moral seseorang juga mengandung sistem nilai spiritual sehingga seseorang mampu merasakan keberadaan Tuhan, beriman dan dapat menerima kebenaran dari-Nya.

4. ‘Aql
Secara etimologi ‘aql berarti mengikat/al-ribath, menahan/al-imsak, mela-rang/al-nahy, dan mencegah/man’u (Rasyidi & Cawidu, 1984). Berdasarkan mak-na bahasa ini, Mujib (1999) berpendapat bahwa yang disebut orang yang berakal (al-‘aqil) adalah orang yang mampu menahan dan mengikat dorongan-dorongan nafsunya, jika nafsunya terikat maka jiwa rasionalitasnya mampu bereksistensi sehingga manu-sia dapat menghindari perbuatan buruk atau jahat.

‘Aql, ditransfer kedalam bahasa Indonesia menjadi akal dengan arti yang umum yaitu pikiran. Akal adalah subtansi yang bisa berpikir, dengan kata lain, ber-pikir adalah cara kerja dari akal, sehingga dapat dikatakan bahwa akal identik dengan pikiran, atau ratio dalam bahasa Latin, atau budi dalam bahasa Sansekerta, atau reason dalam bahasa Inggris.

Mengutip pendapat al-Husain, Mujib (1999) menyatakan bahwa akal mem-punyai dua makna, yaitu: (1) akal jasmani, yaitu salah satu organ tubuh yang terletak di kepala. Akal ini yang biasanya disebut dengan otak (al-dimagh), (2) akal ruhani, yaitu suatu kemampuan jiwa yang dipersiapkan dan diberi kemampuan untuk mem-peroleh pengetahuan (al-ma’rifah) dan kognisi (al-mudrikat).

Al-Ghazali (sebagaimana yang dikutip Basil, tanpa tahun) menyebutkan beberapa aktivitas akal, yaitu al-nazhar (melihat), al-tadabbur (memperhatikan), al-ta’ammul (merenungkan), al-i’tibar (menginterpretasikan), al-tafkir (memikirkan) dan al-tadakkur (mengingat). Apa yang dinyatakan oleh al-Ghazali mengenai aktivitas akal tersebut, dalam psikologi dikenal dengan istilah cognition (kognisi), yaitu sebuah konsep umum yang mencakup semua pengenalan, termasuk di dalamnya ialah menga-mati, melihat, memperhatikan, menyangka, membayangkan, memperkirakan, mem-pertimbangkan, berpikir, menduga dan menilai (Chaplin, 1997).

Jika kerja qalb (hati nurani) dalam memutuskan sesuatu tanpa proses panjang seolah-olah keputusan itu dilhamkan kepadanya, dengan memperhatikan beberapa aktivitas akal di atas, maka dapat dipahami bahwa kerja akal dalam memutuskan sesuatu melalui jalan yang berliku-liku lewat proses yang disebut berfikir.

Dalam Islam, akal diakui sebagai salah satu sarana yang sangat penting bagi manusia, bahkan diakui merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Alquran dan Hadis yang diistilahkan dengan ijtihad.

Meskipun akal mempunyai kedudukan dan posisi yang sangat penting, namun akal bukan merupakan faktor utama yang dapat menjadikan manusia menjadi makhluk yang paling baik dan mulia, sebab akal tidak dapat menentukan dan menetapkan kebenaran tanpa adanya bimbingan syari’at (hukum agama) dan iman yang bersumber dari hati (qalb). Akal mampu untuk mengetahui bahwa Tuhan itu ada, namun akal tidak mampu mengantar manusia untuk merasa dekat dengan Tuhannya, yang mampu mendekati Tuhan adalah rasa yang menggunakan qalb sebagai sarananya. Di sampig itu, kebenaran yang diperoleh dari akal bersifat nisbi atau relatif sebagaimana yang diakui oleh para ilmuwan dan filosof.

5. Hawa
Secara literlik hawa berarti menuruti kehendak. Hawa sering pula diistilahkan dengan syahwat yang berarti nafsu, selera, atau keinginan (Munawwir, 1984: 801). Dalam bahasa Indonesia, hawa/syahwat diistilahkan dengan nafsu atau hawa nafsu.

Nafsu merupakan karunia Tuhan yang diberikan kepada manusia, dengan nafsu manusia bisa menikmati segala keindahan dan kenikmatan yang terdapat di alam ini, nafsu mendorong akal manusia untuk memikirkan cara-cara hidup yang lebih baik, dan nafsu pula yang mendorong manusia untuk hidup berkeluarga dan berketurunan. Dalam surah Ali Imran ayat 14 Allah swt berfirman:
زين للناس حب الشهوات من النسآء ِوالبنين والقناطير المقنـطرة مـن الذهب والفضة والخيل المسومة والانعام والحرث. ذلك متاع الحياة الدنيا والله عنده حسن الـمـاب
Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat yang baik.

Berdasarkan surah Ali Imran ayat 14 di atas, Al-Falimbani (1995) dan Muhammad (t.t.) membagi nafsu menjadi dua macam, yaitu nafsu seksual (syahwatul faraj) dan nafsu perut (syahwatul bathni). Nafsu seksual mendorong dan menyebabkan umat manusia berkembang dan berketurunan, sedang nafsu perut mendorong akal manusia untuk memikirkan cara-cara hidupnya yang lebih layak.

Disamping nafsu seksual dan nafsu perut, Al-Ghazali (Sholeh, 1993) menye-butkan bahwa terdapat pula nafsu marah/angkara murka (ghadlab). Nafsu marah mendorong manusia untuk melakukan apa saja atau menentang apa saja yang dianggap mengancam dan merugikan dirinya.

Manusia diperingatkan untuk selalu waspada terhadap sifat dan kekuatan nafsu yang selalu cenderung pada keburukan, jika tidak dikendalikan maka akan membuat manusia sesat. Dalam surah al-Jaatsiyah ayat 23 Allah swt berfirman:
افرأيت من اتخذ الـهه هوـه واضله الله على علم وخـتم على سمعـه وقلبه وجعل على بصره غشوة ؟ …
Artinya: Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya ?…

Keterangan lain yang menyatakan bahwa nafsu cenderung membawa dan mendorong manusia kedalam kesesatan dapat dilihat antara lain pada surah Maryam ayat 59, surah Thaha ayat 16, surah al-Qashash ayat 50, dan surah Shaad ayat 26.

Surah al-Jaatsiyah ayat 23 di atas menjelaskan bahwa jika seseorang selalu memperturutkan hawa nafsunya, maka mata hatinya (qalb) serta penglihatannya (‘aql) akan tertutup, orang tersebut akan tersesat karena tidak mampu lagi membedakan antara yang baik dan yang buruk, atau antara yang benar dan yang salah.

Secara psikologis, jika seorang manusia sekali melakukan kebaikan atau keja-hatan, maka kesempatannya untuk mengulangi perbuatan yang serupa semakin ber-tambah, sebaliknya, untuk melakukan perbuatan yang berlawanan semakin berkurang, dengan terus menerus melakukan kebaikan atau kejahatan, maka seorang manusia hampir tidak dapat melakukan perbuatan yang berlawanan, bahkan untuk sekedar memikirkannya (Fazlurrahman, 1996), dengan demikian, jika manusia selalu menuruti hawa nafsunya yang selalu mendorong kepada perbuatan jahat, maka hati nurani (qalb) serta penglihatannya (‘aql) akan “tertutup”

Uraian tentang nafsu di atas menyiratkan bahwa apabila nafsu bekerja di bawah kontrol dan kendali hati dan akal, maka nafsu akan memberikan manfaat dan kebahagiaan kepada manusia, sebaliknya jika dorongan-dorongan nafsu terlalu kuat menguasai manusia sehingga hati dan akal tidak mampu mengontrol dan mengen-dalikannya, maka manusia akan tersesat dan celaka, nafsu seksual dan nafsu perut yang tidak terkendali akan menimbulkan “kerakusan”, sedang nafsu marah yang tidak terkendali akan menimbulkan “kebuasan”.

C. Hakekat Manusia: Sebuah Komparasi
Tidak semua psikologi Barat bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Psikologi Barat perlu dipahami, tetapi hal itu harus dipelajari dan dipahami secara kritis dengan mengupasnya pula dari sudut pandang Islam. Banyak aspek yang benar dan dapat dipercaya dari pandangan ilmiah Barat dan ternyata dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan baru dalam dunia Islam, bahkan ditemukan dasar-dasarnya dalam Islam, atau pernah diungkapkan pula oleh para pemikir Islam.

Di antara psikologi Barat, psikologi Eksistensial-Humanistik ternyata banyak mempunyai kesesuaian pandangan dengan pandangan dan nilai-nilai Islam. Eksisten-sial-Humanistik lahir sebagai reaksi terhadap psikoanalisis dan behavioristik. Psiko-analisis memandang manusia sebagai makhluk yang deterministik, dan behavioristik memandang tingkah laku manusia sebagai hasil rekayasa dan proses pembiasaan sebagaimana terdapat pada hewan, dengan kata lain, kedua aliran tersebut memandang bahwa tingkah laku manusia seluruhnya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan di luar dirinya, sedangkan penganut Eksistensial-Humanistik memandang manusia sebagai makhluk yang mempunyai otoritas atas dirinya sendiri, punya kebebasan untuk ber-kehendak, bertanggung jawab, aktualisasi, punya makna hidup, dan sebagainya.

Frankl (1968: x), salah seorang tokoh eksistensial-humanistik menyatakan: “Man lives in three dimensions: the somatic, the mental, and the spiritual. The spiri-tual dimension cannot be ignored, for it is what makes us human”

Pada diri manusia, di samping terdapat dimensi somatic (raga) dan dimensi mental (psikis), terdapat pula dimensi lain yaitu dimensi spiritual (rohani). Diantara ketiga dimensi tersebut, menurut Frankl, dimensi spiritual merupakan dimensi yang dapat menjadikan manusia sebagai “seorang manusia”. Senada dengan Frankl, Patterson (1980) menyatakan bahwa dimensi spiritual merupakan ciri pokok eksistensi manusia. Adanya dimensi spiritual secara fenomenologi dapat dilihat melalui adanya kesadaran diri pada manusia, dimensi spiritual ini yang menimbulkan suara hati, rasa cinta, dan estetika.

Pernyataan Frankl dan Patterson di atas menyiratkan bahwa dimensi spiritual (rohani) merupakan dimensi terpenting yang dimiliki oleh manusia, karena keberadaan dimensi spiritual ini yang dapat menjadikan manusia berbeda dengan binatang atau dengan makhluk lainnya. Oleh sebab itu fungsi dan eksistensi dimensi spiritual harus dirawat dan dipelihara, sebab tanpa adanya dimensi spiritual manusia akan kehilangan identitas kemanusiaannya, manusia tidak ada bedanya dengan binatang, bahkan mung-kin lebih buruk dari binatang.

Islam memandang bahwa wujud/keberadaan manusia merupakan sebuah totalitas yang terdiri dari dua buah dimensi, yaitu dimensi jasad dan dimensi ruh/nafs, dimana dimensi ruh/nafs dapat dibedakan lagi menjadi qalb, ‘aql, dan hawa. Sedangkan kaum eksistensial-humanistik memandang manusia terdiri dari tiga buah dimensi, yaitu dimensi somatic, dimensi mental, dan dimensi spiritual.

Meskipun terdapat perbedaan antara pandangan Islam dengan kaum eksistensial-humanistik dalam hal pembagian jumlah dimensi manusia, tetapi pada prinsipnya terdapat persamaan dalam memandang fungsi dimensi-dimensi manusia. Dimensi jasad dalam istilah Islam nampaknya punya arti dan maksud yang sama dengan dimensi somatic dalam istilah eksistensial-humanistik, yakni mengacu kepada aspek organ biologis atau bentuk pisik manusia. Adapun istilah dimensi ruh/nafs menurut pandangan Islam nampaknya mencakup sekaligus istilah dimensi mental dan dimensi spiritual dalam pandangan eksistensial-humanistik, karena fungsi-fungsi yang dijalankan oleh dimensi ruh/nafs dalam pandangan Islam mencakup sekaligus fungsi-fungsi yang dijalankan oleh dimensi mental dan dimensi spiritual dalam pandangan kaum eksistensial-humanistik.

Kaum eksistensial-humanistik menganggap dimensi spiritual manusia merupa-kan dimensi yang terpenting dibanding dimensi somatic dan dimensi mental, sebab dimensi spiritual dianggap sebagai inti kemanusiaan dan merupakan sumber makna hidup, fungsi dan eksistensi dimensi spiritual dapat melahirkan suara hati, rasa cinta, dan estetika, dan yang dapat menjadikan manusia berbeda dengan binatang. Jika dibandingkan dengan pandangan Islam, fungsi-fungsi yang dijalankan oleh dimensi spiritual dalam pandangan kaum eksistensial-humanistik nampaknya punya persamaan dengan fungsi-fungsi yang dijalankan oleh qalb dalam pandangan Islam. Dalam Alquran (surah al-A’raf ayat 179) dinyatakan bahwa manusia yang tidak dapat menggunakan qalb nya maka dia tidak ada bedanya dengan binatang, bahkan lebih sesat dari binatang. Pernyataan Alquran tersebut menyiratkan bahwa qalb dipandang sebagai sesuatu yang dapat membedakan manusia dengan binatang.

Istilah spiritual dalam pandangan eksistensial-humanistik sama sekali tidak mengandung konotasi agama, tetapi semata-mata merupakan penghayatan maknawi manusia akibat adanya kemampuan transendensi terhadap dirinya dan terhadap lingkungannya (Bastaman, 1997). Meskipun demikian, eksistensial-humanistik tidak menutup diri terhadap agama, bahkan memberikan peluang sepenuhnya kepada setiap pribadi untuk merealisasikan nilai-nilai keagamaan sebagai sumber makna hidup (Bastaman, 1996). Tidak sama halnya dengan istilah spiritual dalam eksistensial-humanistik yang tidak mengandung konotasi agama, istilah qalb dalam Islam sangat berkaitan dengan agama dan keberagamaan seseorang, sebab fungsi qalb salah satunya adalah untuk merasakan adanya kehadiran Tuhan dan menerima petunjuk serta bimbingan agama.

D. Penutup
Meskipun terdapat perbedaan antara Islam dengan eksistensial-humanistik dalam penggolongan unsur manusia -- Islam memandang manusia secara garis besar terdiri dari dua unsur, yaitu jasad (fisik) dan ruh/nafs (non fisik), sedangkan eksistensial-humanistik memandang manusia terdiri dari tiga unsur, yaitu fisik, psikis (mental) dan rohaniah -- tetapi pada prinsipnya terdapat persamaan dalam memandang fungsi unsur-unsur manusia. Unsur jasad dalam istilah Islam dan unsur somatic dalam istilah ek-sistensial-humanistik sama-sama mengacu kepada bentuk tubuh/fisik manusia. Unsur ruh/nafs dalam pandangan Islam sudah mencakup sekaligus unsur mental dan spiritual/ rohaniah dalam pandangan eksistensial-humanistik. Keduanya, Islam dan eksistensial-humanistik, juga punya pandangan yang sama, yaitu bahwa unsur spiritual/rohaniah merupakan inti kemanusian yang dapat membedakan manusia dengan binatang, jika unsur spiritual/rohaniah manusia tidak berfungsi dengan baik, maka manusia tidak ada bedanya dengan binatang, bahkan lebih buruk dari binatang.

DAFTAR RUJUKAN
Ahmad, A. (1992). Qur’anic concept of human psyche. Islamabad: Islamic Research Institute Press.
Al-Falimbani, S. A. S. (1995). Sairu as-salikin, I. Terjemahan Abu Hanifah. Jakarta: CV. Dewi Sri.
Al-Ghazali. (1984). Ihya Al-Ghazali. Terjemahan Ismail Yakub. Jakarta: CV. Faizan.
Al-Qayyim, I. (1991). Ruh. Terjemahan Syed Ahmad Semait. Singapore: Pustaka Nasional Ltd.
Amjad, N. (1992). Psyche in Islamic gnostic and philosophical tradition.. Islamabad: Islamic Research Institute Press.
Ansari, Z. A. (1992). Qur’an-psychology. Islamabad: Islamic Research Institute Press.
Arifin, B. (1994). Hidup sesudah mati. Jakarta: PT. Kinta.
Badri, M. B. (1981). Psikologi Islam di lobang buaya. Terjemahan Anas Mahyudin & Endi Hardi Mahyudin. Yogyakarta: Up. Karyono.
Basil, V. S. (tt.). Manhaj al-bahs’an al-ma’rifat ‘inda Al-Ghazali. Beirut: Dar- al-kitab al-Libanany.
Bastaman, H. D. (1996). Meraih hidup bermakna: Kisah pribadi dengan pengalaman tragis. Jakarta: Penerbit Paramadina.
____________. (1997). Integrasi psikologi dengan Islam: Menuju psikologi Islami. Yogyakarta: Putaka Pelajar.
Bukhari. (1979). Shahih Al-Bukhariy, Juz I. Istambul, Turki: Al-Maktabah Al-Islami.
Chaplin, J. P. (1997). Kamus lengkap psikologi. Terjemahan Kartini Kartono. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Departemen Agama RI. (1984). Proyek Pengadaan Kitab Suci Alquran. Alquran dan tafsirnya. Jakarta:. Bumi Restu.
Fazlurrahman. (1996). Tema pokok Alquran. Terjemahan Anas Mahyudin. Bandung: Penerbit Pustaka.
Frankl, V. E. (1967). Psychotherapy and Existentialism. New York: Washington Square Press.
Hadi, S. Q. (1981). Membangun insan seutuhnya: Sebuah tinjauan antropologi. Bandung: Al-Ma’arif.
Haq, M. (1992). Heart: the Locus of human psyche. Islamabad: Islamic Research Institute Press.
Iqbal, M. (1981). The reconstruction of religious thought in Islam. Delhi, India: Labqri Fine Art Press.
Muhaimin, & Mujib, A. (1993). Pemikiran pendidikan Islam: Kajian filosofik dan kerangka dasar operasionalisasinya. Bandung : Trigenda Karya.
Mujib, A. (1999). Fitrah & kepribadian Islam: Sebuah pendekatan psikologis. Jakarta: Darul Falah.
Munawwir, A. W. (1984). Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir.
Patterson, C. H. (1980). Theories of counseling and psychotherapy. New York: Happer & Row Inc.
Raharjo, D. (1987). Insan kamil: Konsep manusia menurut Islam. Jakarta: Temprint.
Rasyidi, & Cawidu, H. (1984). Islam untuk disiplin ilmu filsafat. Jakarta : CV. Kuning Mas.
Shihab, M. Q. (1997). Tafsir Alquranul al-Karim: Tafsir atas surat-surat pendek berdasarkan urutan turunnya wahyu. Bandung: Puataka Hidayah.
Sholeh, M. (1993). Telaah nilai-nilai ajaran Al-Ghazali sebagai satu alternatif pendekatan konseling. Tesis PPS IKIP Malang. Tidak diterbitkan.
Surin, B. (1978). Terjemah & tafsir Alquran. Bandung: Firma Sumatra.
Syaltout, M. (1972). Islam sebagai akidah dan syari’ah. Terjemahan Bustami Abdul Gani & Hamdany B. Ali. Jakarta: Bulan Bintang.

DITULIS OLEH: HIDAYAT MA’RUF

1 komentar:

Unknown mengatakan...

wah bagus banget artikelnya bang............gue suka.. www.riyuqu.blogspot.com