Minggu

Pribadi Sehat dan Tidak Sehat Dalam Perspektif Islam

Pribadi merupakan kesatuan antara sistem hati nurani, akal, dan nafsu yang menimbulkan karakter dan tingkah laku seseorang. Jika dorongan-dorongan nafsu dapat dikendalikan oleh hati nurani dan akal dengan bimbingan dan petunjuk agama, maka akan lahir pribadi yang sehat, pribadi yang memiliki keimanan dan mempunyai tujuan untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Namun jika dorongan-dorongan nafsu selalu diperturutkan sehingga hati dan akal tidak mampu mengendalikannya lagi, maka akan lahir pribadi yang tidak sehat/bermasalah, kekuatan nafsunya selalu mendorong kepada kejahatan, mengejar kenikmatan duniawi dan melupakan kehidupan ukhrawi.

A. Pendahuluan
Manusia terdiri dari dua unsur, yaitu unsur materi (jasmani/jasad) dan unsur immateri (rohani/jiwa). Secara materi, manusia hakekatnya berasal dari tanah, sedangkan secara immateri, manusia berasal dari ruh yang tidak diketahui hakekatnya. Unsur manusia yang bersifat immateri (rohani/jiwa) digambarkan oleh al-Qur’an diantaranya melalui istilah ruh dan nafs yang selanjutnya akan diuraikan sebagai berikut:

1. Ruh
 
Dalam surah al-Hijr ayat 28-29 Allah berfirman:

وإذ قال ربك للملـئكة اني خالق بشرا من صلصال من حمإ مسنون. فاذا
سويـتـه ونفخت فيه من روحي فقعواله ساجدين

Sebagaimana yang digambarkan di dalam ayat 28-29 surah al-Hijr di atas, ruh adalah unsur terakhir yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia, dengan demikian dapat diambil pemahaman bahwa ruh adalah unsur yang sangat penting karena merupakan unsur terakhir yang menyempurnakan proses penciptaan manusia. Ruh juga dikatakan sebagai bagian unsur yang mulia, hal ini tersirat dari perintah Allah kepada para malaikat (termasuk pula iblis) untuk sujud kepada manusia sebagai tanda penghormatan setelah dimasukkannya unsur.

Apakah ruh itu?. Pertanyaan ini pernah diajukan kepada Rasulullah saw sebagaimana yang tergambar dalam surah al-Isra’ ayat 85 sebagai berikut:
ويسئلونك عن الروح. قل الروح من امر ربي وما اوتـيـتم من العلم الا قليلا
Ayat 85 surah al-Isra’ di atas menyiratkan bahwa pengetahuan manusia tentang ruh sangat terbatas sehingga tidak mungkin dapat mengetahui hakekat ruh secara detail. Sekalipun ayat di atas menyatakan bahwa pengetahuan manusia tidak akan mencapai pemahaman yang rinci tentang hakekat ruh, tetapi tidak satupun terdapat ayat al-Qur’an yang menghalangi atau melarang para ulama atau cendikiawan muslim untuk berusaha memahami hakekatnya. Pintu untuk menyelidiki tentang hakekat ruh masih terbuka dengan selebar-lebarnya.

Mempelajari proses penciptaan manusia sebagaimana yang digambarkan dalam al-Qur’an, paling tidak akan memberikan sedikit pemahaman tentang sifat-sifat ruh sebagaimana yang dinyatakan oleh Ansari sebagai berikut:

Thus obvious that a direct and detail understanding of the nature of the ruh is not available. However, if we look at other relevant sections of the Qur’an which describe the process of creation, we might be able to obtain at least some understanding of its nature.

Dalam memahami sifat-sifat ruh, ada beberapa ulama dan para sarjana muslim yang mencoba memahaminya dengan berpijak pada disiplin ilmunya masing-masing, mereka di antaranya sebagai berikut:

Al-Qayyim dan Al-Razy berpendapat bahwa ruh adalah suatu jisim (benda) yang sifatnya sangat halus dan tidak dapat diraba. Ruh merupakan jisim nurani yang tinggi dan ringan, hidup dan selalu bergerak menembus dan menjalar ke dalam setiap anggota tubuh bagaikan menjalarnya air dalam bunga mawar. Jisim tersebut berjalan dan memberi bekas-bekas seperti gerak, merasa, dan berkehendak. Jika anggota tubuh tersebut sakit dan rusak, serta tidak mampu lagi menerima bekas-bekas itu, maka ruh akan bercerai dengan tubuh dan pergi ke alam arwah.

Al-Ghazali membagi ruh dalam dua pengertian. Pertama, ruh yang bersifat jasmani yang merupakan bagian dari tubuh manusia, yaitu zat yang amat halus yang bersumber dari relung hati (jantung), yang menjadi pusat semua urat (pembuluh darah), yang mampu menjadikan manusia hidup dan bergerak, serta merasakan berbagai rasa. Ruh ini dapat diibaratkan sebuah lampu yang mampu menerangi setiap sudut ruangan (organ tubuh). Ruh ini sering pula diistilahkan dengan nafs (nyawa). Kedua, ruh yang bersifat rohani yang merupakan bagian dari rohani manusia yang sifatnya halus dan gaib. Ruh ini memberikan kemampuan kepada manusia untuk mengenal dirinya sendiri, mengenal Tuhannya, dan memperoleh serta menguasai ilmu yang bermacam-macam. Ruh ini pula yang menyebabkan manusia berperikemanusiaan dan mempunyai akhlak yang baik sehingga dapat menjadikannya berbeda dengan binatang.

Syaltout berpendapat bahwa ruh adalah suatu kekuatan yang dapat menyebabkan adanya kehidupan pada makhluk seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Ruh pada diri manusia disamping dapat memberikan kehidupan juga memberikan kemampuan kepada manusia untuk merasa dan berpikir. Hakekat ruh sulit ditangkap tetapi keberadaannya dapat dirasakan.

Ansari menyatakan, salah satu kapasitas khusus yang hanya dimiliki oleh manusia -- tidak dimiliki oleh makhluk lain -- disebabkan karena adanya ruh adalah kemampuannya untuk memperoleh pengetahuan yang luas. Pernyataan Ansari tersebut didasarkan pada al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 31:
وعلم ادم الاسماء كلها ....
Adam diajarkan oleh Allah swt berbagai nama-nama benda setelah unsur ruh ditiupkan kedalam tubuhnya, hal ini menyiratkan bahwa keberadaan unsur ruh menyebabkan manusia mempunyai kemampuan untuk menerima dan memperoleh pengetahuan yang luas.

Ruh adalah sumber kemanusiaan. Manusia merasa senang, cinta, benci, marah, bahagia, gembira, bermoral, berakhlak, mempunyai rasa malu dan beradab, semuanya adalah akibat dari adanya ruh yang ditiupkan Allah pada tubuh manusia.

Menurut Arifin, keberadaan ruh pada diri manusia dapat menyebabkan tumbuh dan berkembangnya daging, tulang, darah, kulit, dan bulu, ruh pula yang menyebabkan tubuh manusia dapat bergerak, berketurunan, dan berkembangbiak. Di sampimg itu ruh pula yang membuat manusia dapat melihat, mendengar, merasa, berpikir, berkesadaran, dan berpengertian.

2. Nafs
Sebagian pendapat menyatakan bahwa ruh dan nafs hakekatnya sama, diberi istilah yang berbeda adalah untuk membedakan sifat dan fungsinya masing-masing. Menurut Amjad, istilah ruh hanya digunakan untuk menunjukkan unsur rohani manusia pada tingkatan yang lebih tinggi dari nafs, ruh dipandang sebagai dimensi khas insani yang merupakan sarana gaib untuk menerima petunjuk dan bimbingan Tuhan, serta mempunyai kesadaran tentang adanya Tuhan, sedangkan istilah nafs digunakan untuk menggambarkan unsur rohani manusia yang mengandung kualitas-kualitas insaniyah atau kemanusiaan.

Dalam al-Qur’an ditemukan tiga buah istilah yang dikaitkan dengan kata nafs, yaitu al-nafs al-mutma’innah seperti yang terdapat dalam surah al-Fajr ayat 27, al-nafs al-lawwamah seperti yang terdapat dalam surah al-Qiyaamah ayat 2, dan al-nafs laammaratun bi al-su’ seperti yang terdapat dalam surah Yusuf ayat 53. Ketiga buah istilah yang dikaitkan dengan kata nafs tersebut menyiratkan adanya tiga buah pembagian kualitas unsur rohani yang terdapat pada manusia.

Al-nafs al-mutma’innah secara etimologi berarti jiwa yang tenang, dinamakan jiwa yang tenang karena dimensi jiwa ini selalu berusaha untuk meninggalkan sifat-sifat tercela dan menumbuhkan sifat-sifat yang baik sehingga memperoleh ketenangan. Dimensi jiwa ini secara umum juga dinamakan qalb atau hati.

Al-nafs al-lawwamah secara literlik berarti jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri, maksudnya bila ia telah berbuat kejahatan maka ia menyesal telah melakukan perbuatan tersebut, dan bila ia berbuat kebaikan maka ia juga menyesal kenapa tidak berbuat lebih banyak. Dimensi jiwa ini dinamakan oleh para filosof Islam sebagai ‘aql atau akal

Al-nafs laammaratun bi al-su’ secara harfiah berarti jiwa yang memerintah kepada kejahatan, yaitu aspek jiwa yang menggerakkan manusia untuk berbuat jahat dan selalu mengejar kenikmatan. Menurut para kaum sufi, dimensi jiwa ini dinamakan sebagai hawa atau nafsu.

Ahmad menyebutkan, meskipun unsur rohani manusia yang diistilahkan dengan nafs disebut dengan tiga buah istilah yang berbeda-berbeda sehingga seolah-olah ketiganya berdiri sendiri-sendiri, namun hakekat ketiganya merupakan satu kesatuan. Ketiga istilah tersebut menggambarkan bahwa secara garis besar terdapat tiga buah fungsi dan sifat yang dimainkan oleh unsur rohani manusia.

Senada dengan pendapat Ahmad yang menyimpulkan bahwa unsur rohani manusia hakekatnya satu, Arifin menyatakan :

Dinamai ruh (jiwa), atau nafs (nyawa) dalam fungsinya menghidupkan, menumbuhkan dan memperkembangbiakkan. Dinamai akal dalam fungsinya memikir (menyelidiki), mencari sebab akibat, mengingat dan menghayal. Dinamai hati atau kalbu dalam fungsinya merasa, dinamai nafsu dalam fungsinya berkeinginan, berkehendak, berkemauan.

Pendapat Ahmad dan Arifin yang menyimpulkan bahwa unsur rohani manusia hakekatnya satu, diperkuat pula oleh pendapat Amjad sebagai berikut : “..… can be concluded that ruh is seen as a unity in all experience which is manifested in different ways in the human self”.

Dari pendapat beberapa ulama dan sarjana muslim di atas, dapat diambil simpulan bahwa meskipun al-Qur’an menggunakan istilah yang berbeda-beda dalam menggambarkan unsur rohani manusia, yaitu ruh dan nafs, namun unsur-unsur rohani tersebut hakekatnya satu, disebut dengan istilah yang berbeda adalah untuk membedakan sifat-sifat rohani manusia. Keberadaan unsur rohani tersebut menyebabkan manusia dapat hidup dan bergerak, berpikir, merasa dan menyadari keberadaan dirinya, dan bahkan menyadari akan keberadaan sesuatu yang menciptakan dirinya, yaitu Tuhan.

a. Qalb
Qalb adalah sebuah istilah lain di samping istilah al-nafs al-mutma’innah yang digunakan di dalam al-Qur’an untuk menggambarkan salah satu unsur potensi rohani yang dimiliki oleh manusia. Istilah qalb dapat dijumpai antara lain di dalam al-Qur’an surah al-Hajj ayat 46 sebagai berikut:
افلم يسيروا فى الارض فـَكون لهم قلوب يعقلون بها او اذان يسمعون بـها فانـها لا تعمى الابصار ولكن تعمى القلوب التي فى الصدور
Di samping al-Qur’an surah al-Hajj ayat 46 di atas dapat pula dijumpai pada Hadits Rasulullah saw sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari sebagai berikut:
ان فى الجسد مضغة اذا صلحت صلح الجسد كله واذا فسدت فسد الجسد كله الا وهي القلب

Berdasarkan keterangan al-Qur’an surah al-Hajj ayat 46 dan Hadits Rasulullah saw tersebut di atas, dapat diambil pemahaman bahwa qalb mempunyai arti fisik dan arti metafisik. Al-Ghazali menyatakan, pengertian qalb menurut arti fisik adalah segumpal daging berbentuk lonjong yang terletak di dalam rongga dada sebelah kiri yang terus menerus berdetak selama manusia masih hidup. Qalb dalam pengertian fisik ini berfungsi untuk mengatur jalannya peredaran darah ke dalam seluruh tubuh. Qalb seperti ini terdapat pada manusia dan pada binatang. Adapun pengertian qalb secara metafisik, menurut Bastaman, menunjuk kepada hati nurani atau suara hati.

Memahami fungsi qalb dalam arti fisik sebagaimana yang digambarkan oleh Al-Ghazali di atas, dapat diambil simpulan bahwa yang dimaksud qalb tersebut adalah organ tubuh yang disebut jantung (heart) dan bukan menunjuk kepada organ tubuh yang disebut hati (lever) .

Haq menyatakan bahwa qalb dalam arti fisik (jantung) merupakan titik tempat interaksi antara tubuh dengan qalb dalam arti metafisik (hati nurani). Interaksi tersebut secara psikologis dapat dirasakan, ketika kondisi psikologis seseorang dalam keadaan normal maka qalb (jantung) berdetak secara teratur, namun ketika kondisi psikologis seseorang sangat senang atau terlalu cemas maka detak qalb (jantung) menjadi cepat.

Pembahasan tentang qalb dalam tulisan selanjutnya lebih mengarah kepada istilah qalb dalam pengertian metafisik, yaitu hati nurani atau suara hati.

Kata Qalb ditransfer kedalam bahasa Indonesia menjadi kalbu yang berarti hati nurani. Kata qalb secara harfiah berarti berubah-rubah atau berbolak-balik, disebut demikian karena ia berpotensi untuk berbolak-balik, umpamanya dari perasaan senang menjadi susah, cinta menjadi benci, dari menerima menjadi menolak, dan sebagainya. Qalb mempunyai nama-nama lain sesuai dengan aktivitasnya, ia dinamakan pula sebagai dhomir karena sifatnya yang tersembunyi, dinamakan fu’ad karena merupakan tumpuan tanggung jawab manusia, dan dinamakan siir karena bertempat pada tempat yang rahasia dan sebagai muara bagi rahasia manusia.
Hati nurani tidak akan mendustakan apa yang dilihatnya, ia selalu cenderung pada kebenaran. Pernyataan ini didasarkan atas firman Allah swt dalam surah an-Najm ayat 11 sebagai berikut:
ما كذب الفؤاد ما رأَى
Menurut Zamakhsyariy, hati nurani diciptakan oleh Allah sesuai dengan fitrah manusia yaitu baik dan suci, dan berkecenderungan menerima kebenaran dari Tuhannya. Jika hati nurani berfungsi secara normal, maka kehidupan manusia menjadi sesuai dengan fitrah aslinya, yaitu baik dan suci, dan dengan demikian manusia akan beriman kepada Allah swt.

Iman adalah masalah gaib yang tidak dapat dijangkau oleh dunia nyata atau pengalaman empiris semata, iman hanya dapat dijangkau dengan dunia rasa. Dunia rasa hanya dapat dijangkau melalui hati nurani yang terdapat dalam dada manusia, bukan dengan rasio atau otak yang terdapat di kepala manusia karena rasio atau otak manusia tidak mampu menjangkau hal-hal yang gaib, keterangan ini dapat dilihat di dalam al-Qur’an surah al-Hujurat ayat 14:
قالت الاعرب آمنا. قل لم تؤمنوا ولكن قولوا اسلمنا ولـما يدخل الايمان في قلوبكم وإن تطيعوا الله ورسوله لاَ يلـتكم من أعمالكم شيئا ان الله غفور رحيم
dan dapat pula dilihat pada Hadits Rasulullah saw sebagai berikut:
الايمان ها هنا, الايمان ها هنا, الايمان ها هنا, ويشير الى صدره ثلاثا
Hati nurani merupakan unsur rohani manusia yang sangat penting dan dipandang sebagai inti kemanusiaan yang dapat menjadikan manusia berbeda dengan binatang. Jika manusia tidak dapat menggunakan hati nuraninya maka dia tidak ada bedanya dengan binatang, bahkan bisa lebih sesat dari binatang sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur’an surah al-A’raf ayat 179.
... لهم قلوب لا يفقهون بها ولهم اعين لا يببصرون بها ولهم اذان لا يسمعون بها اولئك كالانعام بل هم اضل اولئك هم الغافلون
Hati nurani dapat dikategorikan sebagai intuisi atau pandangan yang dalam yang mampu membawa manusia kepada kebenaran, dan sebagai sarana untuk mengenal kebenaran ketika penginderaan manusia tidak mampu memainkan peranannya. Al-Ghazali menyatakan bahwa hati nurani manusia dapat menangkap rasa, mengetahui dan mengenal sesuatu, serta memperoleh ilmu mukasyafah, yaitu ilmu yang diperoleh melalui intuisi atau ilham, oleh karena itu, ketika memutuskan sesuatu (membentuk pendapat), hati nurani langsung menetapkannya tanpa proses panjang seolah-olah keputusan itu dilhamkan kepadanya.

Memahami fungsi qalb seperti yang diuraikan di atas, istilah qalb dalam pengertian metafisik (hati nurani) nampaknya mirip dengan istilah conscience yang digunakan dalam istilah psikologi, yaitu sistem nilai moral seseorang, atau kesadaran akan benar dan salah dalam tingkah laku, atau dalam istilah Psikoanalisa dinamakan superego, yaitu kumpulan moral nilai etis yang diintroyeksikan, yang telah diperoleh seseorang dari kedua orangtuanya. Tetapi berbeda dengan conscience dan superego, qalb di samping mengandung sistem nilai moral seseorang juga mengandung sistem nilai spiritual sehingga seseorang mampu merasakan keberadaan Tuhan, beriman dan dapat menerima kebenaran dariNya.

b. ‘Aql
Secara etimologi ‘aql berarti mengikat/al-ribath, menahan/al-imsak, melarang/al-nahy, dan mencegah/man’u. Berdasarkan makna bahasa ini, Mujib berpendapat bahwa yang disebut orang yang berakal (al-‘aqil) adalah orang yang mampu menahan dan mengikat dorongan-dorongan nafsunya, jika nafsunya terikat maka jiwa rasionalitasnya mampu bereksistensi sehingga manusia dapat menghindari perbuatan buruk atau jahat.

‘Aql, ditransfer kedalam bahasa Indonesia menjadi akal dengan arti yang umum yaitu pikiran. Akal adalah subtansi yang bisa berpikir, dengan kata lain, berpikir adalah cara kerja dari akal, sehingga dapat dikatakan bahwa akal identik dengan pikiran, atau ratio dalam bahasa Latin, atau budi dalam bahasa Sansekerta, atau reason dalam bahasa Inggris.

Mengutip pendapat al-Husain, Mujib menyatakan bahwa akal mempunyai dua makna, yaitu: (1) akal jasmani, yaitu salah satu organ tubuh yang terletak di kepala. Akal ini yang biasanya disebut dengan otak (al-dimagh), (2) akal ruhani, yaitu suatu kemampuan jiwa yang dipersiapkan dan diberi kemampuan untuk memperoleh pengetahuan (al-ma’rifah) dan kognisi (al-mudrikat).

Al-Ghazali menyebutkan beberapa aktivitas akal, yaitu al-nazhar (melihat), al-tadabbur (memperhatikan), al-ta’ammul (merenungkan), al-i’tibar (menginterpretasikan), al-tafkir (memikirkan) dan al-tadakkur (mengingat). Apa yang dinyatakan oleh al-Ghazali mengenai aktivitas akal tersebut, dalam psikologi dikenal dengan istilah cognition (kognisi), yaitu sebuah konsep umum yang mencakup semua pengenalan, termasuk di dalamnya ialah mengamati, melihat, memperhatikan, menyangka, membayangkan, memperkirakan, mempertimbangkan, berpikir, menduga dan menilai.

Kalau kerja qalb (hati nurani) dalam memutuskan sesuatu tanpa proses panjang seolah-olah keputusan itu dilhamkan kepadanya, dengan memperhatikan beberapa aktivitas akal di atas, maka dapat dipahami bahwa kerja akal dalam memutuskan sesuatu melalui jalan yang berliku-liku lewat proses yang disebut berfikir.
Dalam Islam, akal diakui sebagai salah satu sarana yang sangat penting bagi manusia, bahkan diakui merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah al-Qur’an dan Hadits yang diistilahkan dengan ijtihad. Begitu pentingnya kedudukan dan peranan akal dalam Islam sehingga Rasulullah saw sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari bersabda:
الدين هو العقل لا دين لمن لا عقل له
Meskipun akal mempunyai kedudukan dan posisi yang sangat penting, namun akal bukan merupakan faktor utama yang dapat menjadikan manusia menjadi makhluk yang paling baik dan mulia, sebab akal tidak dapat menentukan dan menetapkan kebenaran tanpa adanya bimbingan syari’at (hukum agama) dan iman yang bersumber dari hati (qalb). Akal mampu untuk mengetahui bahwa Tuhan itu ada, namun akal tidak mampu mengantar manusia untuk merasa dekat dengan Tuhannya, yang mampu mendekati Tuhan adalah rasa yang menggunakan qalb sebagai sarananya. Di sampig itu, kebenaran yang diperoleh dari akal bersifat nisbi atau relatif sebagaimana yang diakui oleh para ilmuwan dan filosof.

c. Hawa
Secara literlik hawa الهوى / هاوى) ) berarti menuruti kehendak. Hawa sering pula diistilahkan dengan syahwat (الشهوة) yang berarti nafsu, selera, atau keinginan. Dalam bahasa Indonesia, hawa/syahwat diistilahkan dengan nafsu atau hawa nafsu.

Nafsu merupakan karunia Tuhan yang diberikan kepada manusia, dengan nafsu manusia bisa menikmati segala keindahan dan kenikmatan yang terdapat di alam ini, nafsu mendorong akal manusia untuk memikirkan cara-cara hidup yang lebih baik, dan nafsu pula yang mendorong manusia untuk hidup berkeluarga dan berketurunan. Dalam surah Ali Imran ayat 14 Allah swt berfirman:
زين للناس حب الشهوات من النسآء ِوالبنين والقناطير المقنـطرة مـن الذهب والفضة والخيل المسومة والانعام والحرث. ذلك متاع الحياة الدنيا والله عنده حسن الـمـاب
Berdasarkan surah Ali Imran ayat 14 di atas, Al-Falimbanimembagi nafsu menjadi dua macam, yaitu nafsu seksual (syahwatul faraj) dan nafsu perut (syahwatul bathni). Nafsu seksual mendorong dan menyebabkan umat manusia berkembang dan berketurunan, sedang nafsu perut mendorong akal manusia untuk memikirkan cara-cara hidupnya yang lebih layak.

Disamping nafsu seksual dan nafsu perut, Al-Ghazali menyebutkan bahwa terdapat pula nafsu marah/angkara murka (ghadlab). Nafsu marah mendorong manusia untuk melakukan apa saja atau menentang apa saja yang dianggap mengancam dan merugikan dirinya.

Manusia diperingatkan untuk selalu waspada terhadap sifat dan kekuatan nafsu yang selalu cenderung pada keburukan, jika tidak dikendalikan maka akan membuat manusia sesat. Dalam surah al-Jaatsiyah ayat 23 Allah swt berfirman:
افرأيت من اتخذ الـهه هوـه واضله الله على علم وخـتم على سمعـه
وقلبه وجعل على بصره غشوة ؟ ....
Keterangan lain yang menyatakan bahwa nafsu cenderung membawa dan mendorong manusia kedalam kesesatan dapat dilihat antara lain pada surah Maryam ayat 59, surah Thaha ayat 16, surah al-Qashash ayat 50, dan surah Shaad ayat 26.

Surah al-Jaatsiyah ayat 23 di atas menjelaskan bahwa jika seseorang selalu memperturutkan hawa nafsunya, maka mata hatinya (qalb) serta penglihatannya (‘aql) akan tertutup, orang tersebut akan tersesat karena tidak mampu lagi membedakan antara yang baik dan yang buruk, atau antara yang benar dan yang salah.

Secara psikologis, jika seorang manusia sekali melakukan kebaikan atau kejahatan, maka kesempatannya untuk mengulangi perbuatan yang serupa semakin bertambah, sebaliknya, untuk melakukan perbuatan yang berlawanan semakin berkurang, dengan terus menerus melakukan kebaikan atau kejahatan, maka seorang manusia hampir tidak dapat melakukan perbuatan yang berlawanan, bahkan untuk sekedar memikirkannya, dengan demikian, jika manusia selalu memperturutkan hawa nafsunya yang selalu mendorong kepada perbuatan jahat, maka hati nurani (qalb) serta penglihatannya (‘aql) akan “tertutup”

Uraian tentang nafsu di atas menyiratkan bahwa apabila nafsu bekerja di bawah kontrol dan kendali hati dan akal, maka nafsu akan memberikan manfaat dan kebahagiaan kepada manusia, sebaliknya jika dorongan-dorongan nafsu terlalu kuat menguasai manusia sehingga hati dan akal tidak mampu mengontrol dan mengendalikannya, maka manusia akan tersesat dan celaka, nafsu seksual dan nafsu perut yang tidak terkendali akan menimbulkan “kerakusan”, sedang nafsu marah yang tidak terkendali akan menimbulkan “kebuasan”.

Uraian tentang hakekat manusia berdasarkan wawasan Islam Penulis simpulkan melalui gambar sebagai berikut:

Keterangan:
1 Nampaknya tidak ada satupun istilah dalam psikologi yang dapat dipadankan dengan istilah ruh/nafs, sebab istilah ruh/nafs sekaligus mencakup beberapa istilah dalam psikologi tentang unsur internal (subyektif) manusia seperti soul, spirit, psyche, conscience, ratio, dan appetite.
2 Memahami fungsi yang dijalankan oleh qalb (hati nurani), istilah qalb agak mirip dengan istilah conscience dalam psikologi, yaitu sistem nilai moral seseorang yang berisi kesadaran akan benar dan salah, atau salah satu sistem kepribadian yang disebut superego dalam psikoanalisa. Tetapi sedikit berbeda dengan conscience dan superego, qalb di samping mengandung sistem nilai moral juga mengandung sistem nilai spiritual seseorang sehingga seseorang mampu merasakan keberadaan Tuhan, beriman dan menerima kebenaran dariNya.
3 ‘Aql ditransfer kedalam bahasa Indonesia menjadi akal dengan arti yang umum yaitu pikiran. Akal adalah subtansi yang bisa berpikir. Dengan kata lain, berpikir adalah cara kerja dari akal, sehingga dapat dikatakan bahwa akal identik dengan pikiran/ratio/budi/reason, atau salah satu sistem kepribadian manusia yang disebut ego dalam istilah psikoanalisa.
4 Istilah Hawa mencakup sekaligus nafsu seksual (syahwatul faraj), nafsu perut (syahwatul bathni), dan nafsu marah (ghadlab). Jika dipadankan dengan istilah dalam psikologi, istilah hawa nampaknya sekaligus mencakup dua buah istilah, yaitu appetite dan aggression, atau jika dipadankan dengan istilah yang terdapat dalam psikoanalisa, maka istilah hawa agaknya mirip dengan istilah id, yaitu bagian jiwa atau psikis yang seluruhnya dikuasai oleh prinsip untuk memenuhi kepuasan dan kesenangan, dan berusaha untuk memenuhi keinginan-keinginan tersebut tanpa mempertimbangkan konsekuensinya.

B. Pribadi sehat
Berdasarkan konsep hakekat manusia yang sudah diuraikan sebelumnya, di mana unsur rohani manusia dapat dibedakan berdasarkan sifatnya menjadi tiga yaitu hati nurani, akal, dan nafsu, dan ketiga unsur tersebut yang menentukan karakter dan tingkah laku manusia, maka yang dimaksud penulis dengan pribadi, atau kepribadian pada pembahasan ini adalah kesatuan antara sistem hati nurani, akal, dan nafsu yang menimbulkan karakter dan tingkah laku seseorang.

Definisi kepribadian yang Penulis ajukan di atas, di samping didasarkan atas fungsi-fungsi yang dijalankan oleh hati nurani, akal, dan nafsu, juga merupakan hasil adaptasi dari definisi kepribadian yang dikemukan oleh Freud dan yang dikemukakan oleh Adler. Menurut Freud, kepribadian adalah integrasi dari id, ego, dan superego, sedangkan menurut Adler, kepribadian adalah gaya hidup individu, atau karakteristik seseorang dalam mereaksi masalah-masalah hidup, termasuk tujuan-tujuan hidupnya.

Konsep tentang pribadi yang sehat dalam Islam selalu dikaitkan dengan kualitas keimanan atau ‘aqidah seseorang. Rasulullah saw menyatakan bahwa iman itu tumbuh dalam hati, oleh sebab itu dapat diambil pemahaman bahwa hati -- sebagai tempat tumbuhnya iman -- merupakan faktor yang sangat menentukan bagi sehat atau tidak sehatnya pribadi seseorang. Rasulullah saw sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari bersabda:
ان فى الجسد مضغة اذا صلحت صلح الجسد كله واذا فسدت فسد الجسد كله
الا وهي القلب

Manusia dapat dikatakan baik atau buruk tidak dinilai dari penampilan fisiknya, tetapi dinilai dari isi hati nuraninya. Pernyataan ini ditegaskan oleh Rasulullah saw sebagaimana yang diriwayatkan Imam Thabrani sebagai berikut:
ان الله تعالى لا ينظر الى صوركم ولا الى اجسامكم ولا الى اموالكم ولكن ينظر الى قلوبكم واعمالكم

Hati nurani merupakan alat sensori yang dapat berfungsi membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan yang salah, disamping itu hati cenderung kepada kebaikan dan menolak kejahatan, serta merupakan tempat tumbuhnya iman. Bila hati bersih maka iman dapat tumbuh dengan baik, dan bila iman dapat tumbuh dengan baik maka manusia akan selalu cenderung untuk melakukan ha-hal yang baik dan benar. Sebaliknya jika hati kotor, maka iman tidak dapat tumbuh dengan baik dan hati tidak dapat melakukan fungsinya untuk membimbing manusia kepada kebenaran.

Al-Ghazali mengibaratkan hati nurani sebagai sebuah cermin yang bersih tak bernoda, namun ketika manusia melakukan perbuatan dosa maka terdapat titik noda pada cermin tersebut, semakin banyak manusia berbuat dosa maka semakin banyak pula titik-titik noda yang mengotori cermin tersebut, sampai akhirnya cermin tersebut tertutup sama sekali oleh titik-titik noda. Bila hati nurani yang diibaratkan sebuah cermin sudah tertutup noda, maka hati tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, yaitu membimbing manusia menuju jalan kebenaran.

Iman yang tumbuh dalam hati nurani seseorang tidak akan sempurna sebelum ia memiliki akal yang sempurna, hal ini dinyatakan oleh Rasulllah saw sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnul Mahbar sebagai berikut:
….وما تم ايمنا عبد ولا استقام ديـنه حتى يكمل عقله

Menurut Shihab, iman dalam arti kepercayaan atau pembenaran hati nurani terhadap ajaran agama meskipun diambil dari akar kata yang berarti aman atau tenteram, namun iman -- khususnya dalam tahap-tahap awal -- tidak selalu menghasilkan ketenteraman. Selanjutnya, dengan mengutip pendapat Dr. ‘Abdul Karim Al-Khatib, seorang ulama pengarang kitab Qadhiyyat al-Uluhiyyat, Shihab (1997: 301-302) menyebutkan: Iman adalah kerinduan yang mendorong seseorang membuka tabir kebenaran mutlak, serta usaha terus menerus untuk mencapainya disertai dengan rasa cemas yang mencekam, di tengah-tengah keputusasaan dan harapan serta tanda tanya yang timbul di tengah-tengah keraguan dan keyakinan.

Memperhatikan pendapat di atas, maka orang yang beriman di samping harus selalu mengasah dan mengasuh hati nuraninya, akalnya pun harus selalu diarahkan untuk menemukan argumentasi-argumentasi baru yang berhubungan dengan objek keimanannya. Dengan bantuan akal untuk menemukan argumentasi-argumentasi baru yang berhubungan dengan objek keimanannya, maka keimanan seseorang akan selalu bertambah dari waktu ke waktu sampai akhirnya ia mencapai suatu tingkatan di mana ia merasakan ketenteraman dan ketenangan dalam jiwanya.

Paparan di atas mengandung makna bahwa seseorang yang dikatakan mempunyai pribadi yang sehat ialah seseorang yang memiliki hati nurani dan akal yang berfungsi dengan baik dan seimbang. Fungsi hati nurani dan akal harus seimbang, sebab jika hati nurani sebagai sumber rasa dan tempat tumbuhnya iman berfungsi tanpa diimbangi oleh akal, maka manusia hanyut dalam dunia spiritual-rohaniah belaka sehingga melupakan tugas dan kewajiban hidupnya di dunia, sebaliknya, jika akal sebagai sumber ilmu pengetahuan berkembang tanpa dibimbing oleh hati nurani, maka manusia mempunyai kemajuan yang pesat dalam kehidupan duniawi namun cenderung lupa terhadap kewajibannya untuk mempersiapkan kehidupan ukhrawi. Dengan kata lain, ilmu tanpa iman menyebabkan kebutaan, sedangkan iman tanpa ilmu menyebabkan kelumpuhan.

Menurut ajaran Islam, kehidupan manusia di dunia merupakan rangkaian yang tidak terputus dari kehidupannya di akhirat, kebahagiaan hidup manusia di akhirat kelak sangat tergantung bagaimana kehidupannya di dunia. Manusia diperintahkan untuk mengisi dan tidak melupakan kehidupan duniawi, tetapi kehidupan duniawi harus diniatkan sebagai bagian dari ibadah untuk menyongsong kehidupan di akhirat. Allah swt memerintahkan manusia untuk selalu berdoa demi kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat sebagaimana yang terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 201:
ر بـنا اتنا فى الدنـيا حسنة وفى الاخرة حسنة وقنا عذاب النار
Senada dengan surah al-Baqarah ayat 201 di atas, Rasulullah saw sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Asakir bersabda:
اعمل لدنـياك كأنك تـئيش ابدا واعمل لاخرتك كأنك تموت غدا
Unsur rohani manusia yang sering dikaitkan dengan kehidupan duniawi adalah hawa atau nafsu. Pada pembahasan tentang hawa atau nafsu disebutkan bahwa nafsu mendorong akal manusia untuk memikirkan cara-cara hidup di dunia yang lebih baik, nafsu yang mendorong manusia untuk hidup berkeluarga dan berketurunan, nafsu yang membuat hidup manusia di dunia ini menjadi dinamis. Jika manusia tidak mempunyai nafsu, maka tidak ada yang mendorong akal manusia untuk memikirkan bagaimana cara hidup di dunia yang lebih baik, manusia tidak punya keinginan untuk hidup berkeluarga, tidak punya keinginan untuk memiliki keturunan. Oleh sebab itu, di samping disuruh untuk mempersiapkan kebahagiaan hidup diakhirat, manusia disuruh pula untuk tidak lupa memikirkan kebahagiaan hidupnya di dunia sebagaimana firman Allah swt dalam surah al-Qashash ayat 77 sebagai berikut:
وابتغ فيما اتك الله الدار الا خرة ولا تـنسى نصيـبك من الدنـيا ....

Manusia dapat menikmati kehidupan di dunia, merasakan kebahagiaan, dan melahirkan keturunan karena memiliki nafsu. Oleh sebab itu nafsu merupakan unsur penting yang perlu disyukuri, dijaga dan dipelihara keberadaanya. Tetapi karena dorongan-dorongan nafsu lebih cenderung kepada kejahatan, maka nafsu harus selalu berada di bawah pengawasan dan kendali hati nurani dan akal yang dilandasi iman, sehingga dorongan-dorongan nafsu tetap berjalan pada batas-batas yang wajar, baik dan benar.

Berdasarkan uraian di atas dapat diambil simpulan tentang pribadi yang sehat. Pribadi yang sehat ialah pribadi yang memiliki hati nurani dan akal yang berfungsi dengan baik dan seimbang sehingga dapat mengendalikan nafsu, memiliki keimanan dan mempunyai tujuan untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Pribadi yang sehat akan melahirkan sifat dan perilaku yang mulia atau akhlaq al-karimah. Sifat dan perilaku mulia tersebut antara lain seperti ash-shabr (sabar), al-hilm (lapang hati), dan al-’afw (pemaaf).

1. Ash-Shabr (sabar)
Allah swt menyatakan bahwa orang-orang yang beriman akan diuji dengan berbagai cobaan, sehingga akan terbukti apakah mereka benar-benar beriman atau tidak, keterangan ini antara lain dapat dilihat pada al-Qur’an surah al-Ankabut ayat 2-3 sebagai berikut :
احسب الناس ان يتركوا ان يقولوا امنا وهم لا يفتنون. ولقد فـتناالذين من قبلهم فليعلمن الله الذين صدقوا فليعلمن الكذبين
Ujian yang diberikan kepada manusia secara umum terbagi dua, yaitu yang menyenangkan dan yang menyakitkan. Ujian yang menyenangkan dapat berupa kesehatan, kekayaan, jabatan, mempunyai keturunan dan sebagainya sebagaimana yang tersirat dari surah at-Taghaabun ayat 15 sebagai berikut:
انما اموالكم واولادكم فـْـنة. والله عنده اجر عظيم
Orang yang mempunyai kepribadian yang sehat tidak akan terlena dan terperdaya oleh kenikmatan yang diperolehnya. Melalui tuntunan iman, hati dan akalnya akan berfungsi dengan baik sehingga ia dapat menguasai dan mengendalikan dorongan hawa nafsunya yang selalu tidak puas dengan segala kenikmatan yang sudah diperolehnya. Sifat orang yang tidak tenggelam atau tidak melupakan Tuhannya atas berbagai karunia-Nya yang menyenangkan tersebut dinamakan syukur.

Disamping diuji dengan berbagai kenikmatan, manusia diuji pula dengan berbagai ujian yang menyakitkan berupa musibah, seperti bencana alam, kelaparan, kemiskinan, kematian dan sebagainya sebagaimana yang tersirat dari surah al-Baqarah ayat 155 sebagai berikut:
ولـنبلونكم بشيء من الخوف والجوع ونقص من الاموال والانفوس والثمرات وبشر الصابرين
Sifat orang yang tahan dalam menghadapi berbagai ujian yang tidak menyenangkan tersebut dinamakan sabar/tabah.

Dalam beberapa kamus bahasa Arab-Indonesia, secara etimologi, disebutkan bahwa kata sabar (ash-shabr) mempunyai arti menahan baik dalam pengertian fisik seperti menahan seseorang dalam kurungan atau tahanan, maupun dalam pengertian non fisik seperti menahan diri atau jiwa dalam menghadapi sesuatu yang diinginkan, sedangkan secara terminologi, menurut Al-Ghazali, sabar berarti menahan diri dari segala gangguan dan penderitaan yang tidak menyenangkan.

Secara umum sabar dapat dibagi dalam dua macam, yaitu sabar jasmani dan sabar rohani. Sabar jasmani adalah kesabaran dalam menerima dan melaksanakan perintah-perintah agama yang melibatkan anggota tubuh, seperti sabar dalam melaksanakan ibadah haji yang mengakibatkan keletihan fisik, atau sabar dalam peperangan dalam membela kebenaran. Termasuk pula dalam kategori sabar jasmani, yaitu sabar dalam menerima cobaan-cobaan yang menimpa jasmani, seperti penyakit, penganiayaan, dan sebagainya, namun tidak berarti pasrah dan tidak berusaha mengatasinya, sedangkan sabar rohani menyangkut kemampuan menahan kehendak hawa nafsu yang mengantar kepada kejelekan, seperti sabar menahan marah, menahan nafsu seksual yang tidak pada tempatnya, dan sebagainya.

Sifat sabar hanya tumbuh dari pribadi yang sehat, yaitu pribadi yang mampu mengendalikan nafsunya di bawah petunjuk hati dan akal, serta dilandasi oleh keimanannya kepada Tuhan. Selanjutnya, sifat sabar melahirkan beberapa sifat dan perilaku lain yang mulia, antara lain seperti al-hilm (lapang hati), dan al-’afw (pemaaf).

2. Al-Hilm (lapang hati)
Salah satu sifat manusia yang dimiliki manusia ialah marah, yaitu kecenderungan yang ada dalam diri manusia untuk melakukan apa saja atau menentang apa saja yang dianggap merugikan dirinya. Menurut Al-Qasimi, manusia dikaitkan dengan marah terbagi dalam tiga tingkatan, pertama, tingkat yang paling lemah, diistilahkan dengan tafrith (kekurangan), yaitu seseorang yang dirangsang marahnya -- misalnya, agamanya dihina orang lain -- namun dia tidak marah. Orang yang demikian diibaratkan oleh Imam Syafi’i bagaikan “keledai”. Kedua, tingkat yang melewati batas, diistilahkan dengan ifrath (berlebihan), yaitu marah yang keluar dari bimbingan akal dan iman (agama) nya sehingga ia membabi buta dalam melampiaskan marahnya. Ketiga, tingkat yang mulia, disitilahkan dengan I’tidal (seimbang), yaitu marah yang mengikuti petunjuk akal dan iman (agama) nya, misalnya marah ketika ada orang lain berbuat jahat terhadap dirinya, ia mempertahankan diri namun tidak membalas perbuatan jahat tersebut dengan membabi buta meskipun ia mampu melakukannya, dan marahnya reda saat orang tersebut menyesali perbuatan munkarnya, inilah yang disebut dengan al-hilm atau lapang hati.

Al-Hilm (lapang hati) merupakan bagian dari sifat sabar. Kalau sabar mempunyai pengertian yang luas, yaitu dapat manahan diri dari segala gangguan dan penderitaan yang tidak menyenangkan, maka lapang hati mempunyai pengertian yang lebih khusus, yaitu menahan marah untuk tidak melakukan balas dendam meskipun saat itu ia mampu untuk melakukan pembalasan.

Orang yang mempunyai sifat lapang hati bukan berarti harus menghilangkan sama sekali perasaan marah dalam dirinya, marah tetap diperlukan, namun perasaan marah harus tetap dalam bimbingan akal dan iman (agama) nya, sehingga perasaan marah tidak melahirkan perbuatan yang melebihi batas-batas kewajaran.

Perintah untuk berlapang hati tersirat dari firman Allah swt dalam surah an-Nahl ayat 126 sebagai berikut:
وان عاقـبـتم فعاقبوا بـمثل ماعوقـبـتم به ولـئن صبرتم لهو خير للصابرين
Menurut Al-Hufy, kalimat “akan tetapi jika kamu bersabar” dalam ayat 126 surah an-Nahl tersebut di atas menyiratkan perintah kepada umat Islam untuk berbuat lapang hati (al-hilm), yaitu tidak melakukan pembalasan terhadap orang yang pernah menyiksa/menyakiti dirinya.

Sifat lapang hati (al-hilm) hanya dimiliki oleh seseorang yang mempunyai kepribadian yang sehat, yaitu orang yang hati dan akalnya dapat menguasai hawa nafsunya untuk tidak melakukan pembalasan, dan dapat menyadari bahwa perbuatan membalas dendam adalah perbuatan yang tidak mempunyai manfaat.

3. Al-‘Afw (pemaaf)

Ketika seseorang dianiaya atau disakiti oleh orang lain, maka timbul rasa marah dari orang yang dianiaya kepada orang yang menganiayanya. Jika orang yang teraniaya menahan marahnya dan tidak melakukan pembalasan meskipun ia mampu membalas, maka sifat orang yang demikian dinamakan al-hilm (lapang dada). Selanjutnya, jika orang yang teraniaya tersebut menahan marahnya, tidak melakukan pembalasan meskipun ia berhak membalas dan mampu melakukan, kemudian tidak menyimpan perasaan benci terhadap orang yang menganiaya dirinya, maka orang yang demikian dinamakan pemaaf.

Sifat orang yang suka memaafkan mempunyai daya menyembuhkan, baik secara psikologis maupun secara jasmani. Mengutip pendapat Growald, Luks, dan Fleming, Munandir menyebutkan bahwa orang yang berbuat baik bagi sesamanya dan suka memaafkan orang lain, dapat meningkatkan daya kebal tubuh, mengurangi resiko terkena sakit jantung, dan meningkatkan usia harapan, sedangkan yang tidak bisa memaafkan orang lain bisa mengakibatkan susah tidur, gangguan pencernaan, dan naiknya tekanan darah.

Dalam Islam, anjuran untuk memberi maaf antara lain dapat dilihat dalam al-Qur’an surah asy-Syuura ayat 39-40 sebagai berikut :
والذين اذا اصابـهم البغي هم ينـتـصرون. وجزؤا سـيـئة سـيـئة مثلها فمن عاف واصلح فاجره على الله انه لا يحب الظالـمين

juga terdapat dalam Hadits Nabi sebagai berikut:
قال لعقبة بن عامر: الا اخبرك بافضل أَخلاق اهل الدنـيا والآخرة. تصل من قطعك وتعطى من حرمك وتعفو عمن ظلمك
Disamping tercermin dalam sifat dan perilaku ash-shabr (sabar), al-hilm (lapang hati), dan al-‘afw (pemaaf), pribadi yang sehat tampak pula pada sifat dan perilaku mulia atau akhlaq al-karimah lainnya seperti tawakkal (menyerahkan diri setelah berusaha), al-qana’ah (rela dengan apa yang ada), az-zuhd (menahan diri dari hidup berlebih-lebihan), al-‘iffah (memelihara kehormatan diri), at-tawadhu; (rendah hati), al-hadu’ (tenang), al-haya’ (malu berbuat dosa), dan sebagainya.

C. Pribadi tidak sehat
Hawa atau nafsu merupakan salah satu karunia Tuhan yang diberikan kepada manusia, dengan adanya nafsu manusia dapat menikmati kehidupan, merasakan kebahagiaan, punya keinginan untuk hidup berkeluarga dan memiliki keturunan (al-Qur’an surah Ali Imran ayat 14). Manusia wajib mensyukuri keberadaan nafsunya, tetapi di samping itu manusia wajib pula untuk selalu waspada terhadap sifat dan kekuatan nafsu yang selalu mendorongnya kepada kejahatan (al-Qur’an surah Yusuf ayat 53). Jika manusia selalu menuruti kehendak nafsunya maka hati nurani dan akalnya akan tertutup sehingga manusia akan terjerumus dalam kesesatan, kejahatan dan kesengsaraan (al-Qur’an surah al-Jaatsiyah ayat 23).

Nafsu akan membawa manusia kepada kebahagiaan jika nafsu berjalan di bawah pengawasan serta bimbingan hati nurani dan akal yang dilandasi iman. Sebaliknya, jika dorongan-dorongan nafsu mengalahkan hati nurani dan akal, maka manusia akan tersesat dalam kejahatan dan kesengsaraan, manusia tidak akan memperoleh ketenangan dan kebahagiaan dalam hidupnya.

Dari simpulan tentang pribadi sehat seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, dapat diambil pemahaman terbalik untuk merumuskan konsep pribadi yang tidak sehat. Pribadi yang tidak sehat ialah pribadi yang hati dan akalnya tidak dapat berfungsi dengan baik, sehingga dirinya dikuasai oleh kekuatan nafsunya yang selalu mendorong kepada kejahatan, mengejar kenikmatan duniawi dan melupakan kehidupan ukhrawi.

Pribadi yang tidak sehat akan melahirkan sifat dan perilaku yang buruk (akhlaq al-sayyi’ah). Sifat dan perilaku yang buruk (akhlaq al-sayyi’ah) antara lain seperti al-Jaza’ (berkeluh kesah) dan al-ghadlab (pemarah)

1. Al-Jaza’ (berkeluh kesah)
Salah satu sifat manusia, sebagai cerminan dari pribadi yang tidak sehat, adalah suka berkeluh kesah, sifat ini tersebut pada surah al-Ma’aarij ayat 19-20:
ان الانسان خلق هلوعا. اذا مسه الشر جزوعا
Terhadap ujian yang tidak menyenangkan atau menyusahkan, ada dua kemungkinan sifat manusia dalam menghadapinya. Pertama, manusia akan sabar menghadapi ujian tersebut -- namun tetap berusaha untuk keluar dari kesusahan, tidak berdiam diri/pasrah -- sebab ia mempunyai keyakinan bahwa kesusahan tersebut merupakan bagian dari ujian yang diberikan Tuhan kepadanya. Sifat ini hanya dimiliki oleh orang yang mempunyai kepribadian yang sehat. Kedua, manusia akan berkeluh kesah terhadap musibah atau ujian tersebut sebab ia tidak menyadari bahwa kesusahan yang sedang dialaminya merupakan bagian dari ujian Tuhan yang diberikan kepadanya.

Berkeluh kesah dalam menghadapi kesusahan tidak akan membantu keluar dari kesusahan, bahkan sebaliknya akan menambah kesusahan dalam jiwa seseorang, akalnya semakin kalut sehingga tidak dapat berpikir jernih untuk mencari jalan keluar dari kesusahan yang sedang dialaminya.

Orang yang berkeluh kesah biasanya tidak punya usaha yang cukup untuk mengatasi kesusahannya, ia hanya bisa berdiam diri sambil mengutuk dirinya sendiri dengan kata-kata yang buruk, atau menyalahkan orang lain yang dia anggap sebagai penyebab dirinya tertimpa kesusahan dengan mengeluarkan kata-kata yang buruk. Ancok menyebutkan, “ditinjau dari teori hipnosis yang menjadi landasan dari salah satu teknik terapi kejiwaan, pengucapan kata-kata itu berisikan suatu proses auto-sugesti”, dengan demikian, kata-kata buruk yang keluar dari ucapan seseorang yang sedang berkeluh kesah dapat memberikan sugesti terhadap dirinya sendiri, sehingga ia merasa bahwa dirinya selalu dalam keadaan susah.

2. Al-ghadlab (pemarah)
Pada uraian mengenai al-hilm (lapang hati), disebutkan bahwa manusia dihubungkan dengan marah terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu tafrith, ifrath, dan i’tidal. Marah yang dimaksud sebagai cerminan sifat dan perilaku manusia yang tidak sehat adalah marah pada tingkatan ifrath (berlebihan), yaitu marah yang keluar dari bimbingan akal dan iman (agama) nya sehingga ia membabi buta dalam melampiaskan marahnya.

Menurut Al-Ghazali, tanda-tanda orang yang marah dalam tingkatan ifrath diantaranya warna muka dan matanya berubah menjadi merah, anggota tubuhnya gemetar, gerakan tubuhnya tidak terkontrol, mulutnya mengeluarkan kata-kata kotor, mencaki maki dan mencerca seenaknya. Dari tanda-tanda marah tersebut, tersirat bahwa orang yang marah tidak dapat merasa dan berpikir dengan jernih, hati dan akalnya dikuasai oleh nafsu marahnya sehingga diri dan perbuatannya tidak dapat terkendali dengan baik.

Islam mencela sifat marah, khususnya marah pada tingkatan ifrath. Tercelanya sifat ini tergambar dari Hadits Rasulullah saw sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi sebagai berikut:
خـيـر بنى ادم البطئ الغـضب السريع الفىء وشرهم السريع الغـضب البطئ الفىء

Rasa marah yang berlebihan dan meluap-luap, jika tidak dapat dilenyapkan dengan segera maka ia akan masuk kedalam batin dan terus bergejolak dalam hati sehingga menimbulkan rasa dendam terhadap subjek yang dimarahi, dengan kata lain, marah yang berlebihan dan tidak dapat dilenyapkan dengan segera akan membuahkan rasa dendam.

Dendam adalah perasaan benci yang timbul dari rasa marah yang terpendam. Dendam adalah salah satu sifat yang bertentangan dengan sifat seorang mukmin, oleh sebab itu seorang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya hendaknya melatih diri untuk membuang jauh-jauh sifat dendam, sebab sifat dendam bukan merupakan cerminan sifat orang mukmin.

Perasaan orang yang dendam akan menimbulkan berbagai sifat dan perbuatan buruk lainnya terhadap orang yang ia dendami seperti hasad (dengki), su’u al-zhan (buruk sangka), ghibah (menggunjing), memutuskan silaturrahmi (hubungan persahabatan), dan lain sebagainya.

Di samping melahirkan sifat dan perilaku buruk (akhlaq al-sayyi’ah) seperti yang sudah disebut di atas, pribadi yang tidak sehat juga melahirkan sifat dan perilaku buruk lainnya seperti takabbur (sombong), riya’ (pamer), bakhil (rakus), syukh (pelit), ‘ajlat (tergesa-gesa), jubun (penakut), dan lain sebagainya.

Uraian tentang pribadi yang sehat dan pribadi yang tidak sehat/bermasalah berdasarkan wawasan Islam Penulis simpulkan melalui gambar sebagai berikut:

keterangan:
Pribadi merupakan kesatuan antara sistem hati nurani, akal, dan nafsu yang menimbulkan karakter dan tingkah laku seseorang. Jika dorongan-dorongan nafsu dapat dikendalikan oleh hati nurani dan akal dengan bimbingan dan petunjuk agama, maka akan lahir pribadi yang sehat, namun jika dorongan-dorongan nafsu selalu diperturutkan sehingga hati dan akal tidak mampu mengendalikannya lagi, maka akan lahir pribadi yang tidak sehat/bermasalah.

D. Penutup
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pribadi merupakan kesatuan antara sistem hati nurani, akal, dan nafsu yang menimbulkan karakter dan tingkah laku seseorang. Jika dorongan-dorongan nafsu dapat dikendalikan oleh hati nurani dan akal dengan bimbingan dan petunjuk agama, maka akan lahir pribadi yang sehat, pribadi yang memiliki keimanan dan mempunyai tujuan untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Pribadi yang sehat akan melahirkan sifat dan perilaku yang mulia atau akhlaq al-karimah. Sifat dan perilaku mulia tersebut antara lain seperti ash-shabr (sabar), al-hilm (lapang hati), dan al-’afw (pemaaf). Pribadi yang sehat tampak pula pada sifat dan perilaku mulia atau akhlaq al-karimah lainnya seperti tawakkal (menyerahkan diri setelah berusaha), al-qana’ah (rela dengan apa yang ada), az-zuhd (menahan diri dari hidup berlebih-lebihan), al-‘iffah (memelihara kehormatan diri), at-tawadhu; (rendah hati), al-hadu’ (tenang), al-haya’ (malu berbuat dosa), dan sebagainya.

Jika dorongan-dorongan nafsu selalu diperturutkan sehingga hati dan akal tidak mampu mengendalikannya lagi, maka akan lahir pribadi yang tidak sehat/bermasalah, kekuatan nafsunya selalu mendorong kepada kejahatan, mengejar kenikmatan duniawi dan melupakan kehidupan ukhrawi.

Pribadi yang tidak sehat akan melahirkan sifat dan perilaku yang buruk (akhlaq al-sayyi’ah). Sifat dan perilaku yang buruk (akhlaq al-sayyi’ah) antara lain seperti al-Jaza’ (berkeluh kesah) dan al-ghadlab (pemarah). Pribadi yang tidak sehat juga melahirkan sifat dan perilaku buruk lainnya seperti takabbur (sombong), riya’ (pamer), bakhil (rakus), syukh (pelit), ‘ajlat (tergesa-gesa), jubun (penakut), dan lain sebagainya.

Daftar Pustaka
Al-Falimbani, S. A. S. (1995). Sairu as-salikin, I. Terjemahan Abu Hanifah. Jakarta: CV. Dewi Sri.
Al-Ghazali. (1984). Ihya Al-Ghazali. Terj. Ismail Yakub. Jakarta: CV. Faizan.
Al-Ghazali. (1989). Ihya’ ‘ulumuddin. Beirut: Dar al-Fikr.
Ahmad, A. (1992). Qur’anic concept of human psyche. Islamabad: Islamic Research Institute Press.
Al-Hufy, A.M. (1978). Akhlak Nabi Muhammad saw: Keluhuran dan kemuliaannya. Terjemahan H. Masdar Helmy & Abd. Khalik Anwar. Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Qasimi, M. J. (1975). Mau’izhah al-mu’minin (Bimbingan untuk mencapai tingkat mukmin). Terjemahan Moh. Abdai Rathomy. Bandung: CV. Diponegoro.
Arifin, B. (1994). Hidup sesudah mati. Jakarta: PT. Kinta
Amjad, N. (1992). Psyche in Islamic gnostic and philosophical tradition.. Islamabad: Islamic Research Institute Press.
Ancok, D., & Suroso, F. N. (1995). Psikologi Islami: Solusi Islam atas problem psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ansari, Z. A. (1992). Qur’an-psychology. Islamabad: Islamic Research Institute Press.
Ash-Shiddieqy, TM. H. (1969). Tafsir al-Qur’an al-majied: An-Nur (juz XV). Jakarta: Bulan Bintang.
Ansari, Z. A. (1992). Qur’an-psychology. Islamabad: Islamic Research Institute Press.
Arifin, B. (1994). Hidup sesudah mati. Jakarta: PT. Kinta
Basil, V. S. (Tanpa tahun). Manhaj al-bahs’an al-ma’rifat ‘inda Al-Ghazali. Beirut: Dar- al-kitab al-Libanany
Bastaman, H. D. (1996). Meraih hidup bermakna: Kisah pribadi dengan pengalaman tragis. Jakarta: Penerbit Paramadina.
Bukhari. (1979). Shahih Al-Bukhariy, Juz I. Istambul, Turki: Al-Maktabah Al-Islami.
Chaplin, J. P. (1997). Kamus lengkap psikologi. Terjemahan Kartini Kartono. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Haq, M. (1992). Heart: the Locus of human psyche. Islamabad: Islamic Research Institute Press.
Mujib, A. (1999). Fitrah & kepribadian Islam: Sebuah pendekatan psikologis. Jakarta: Darul Falah.
Rasyidi, & Cawidu, H. (1984). Islam untuk disiplin ilmu filsafat. Jakarta : CV. Kuning Mas.
Munawwir, A. W. (1984). Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir.
Musnamar, dkk. (1992). Dasar-dasar konseptual bimbingan dan konseling Islam. Yogyakarta: UII Press.
Muhaimin, & Mujib, A. (1993). Pemikiran pendidikan Islam: Kajian filosofik dan kerangka dasar operasionalisasinya. Bandung : Trigenda Karya.
Mujib, A. (1999). Fitrah & kepribadian Islam: Sebuah pendekatan psikologis. Jakarta: Darul Falah.
Munandir. (1989). Bimbingan sekolah di Indonesia: Corak yang bagaimana ? (Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar; IKIP Malang: tidak diterbitkan).
Rasyidi, & Cawidu, H. (1984). Islam untuk disiplin ilmu filsafat. Jakarta : CV. Kuning Mas, hal: 119
Shihab, M. Q. (1997). Tafsir al-Qur’anul al-Karim: Tafsir atas surat-surat pendek berdasarkan urutan turunnya wahyu. Bandung: Puataka Hidayah
Sholeh, M. (1993). Telaah nilai-nilai ajaran Al-Ghazali sebagai satu alternatif pendekatan konseling. Tesis PPS IKIP Malang. Tidak diterbitkan.
Syaltout, M. (1972). Islam sebagai akidah dan syari’ah. Terjemahan Bustami Abdul Gani & Hamdany B. Ali. Jakarta: Bulan Bintang
Surin, B. (1978). Terjemah & tafsir al-Qur’an. Bandung: Firma Sumatra.
Sudewo. (1968). Islam dan ilmu pengetahuan. Jakarta: Balai Buku Ikhtiar.
Syaltout, M. (1972). Islam sebagai akidah dan syari’ah. Terjemahan Bustami Abdul Gani & Hamdany B. Ali. Jakarta: Bulan Bintang
Umary, B. (1989). Materia akhlak. Solo: Ramadhani.

DITULIS OLEH: HIDAYAT MA’RUF

6 komentar:

iis haryati mengatakan...

tulisan yang luar biasa dan sangat bermanfaat Pa, saya akan baca terus tulisan2 Bapa.

F.R mengatakan...

tulisan ini sangat bermanfaat, terimakasih..

Anonim mengatakan...

Pak apakah ruh nanti kekal, kalau kekal apa bedanya ke kekalan Tuhan dan ke kekalan Ruh manusia?

Anonim mengatakan...

tulisan yang bagus dan inspiratif

Anonim mengatakan...

Ijin copas Guru, semoga bermanfaat...

nova santoso mengatakan...

Tulisan bagus :-)